Sabtu, 15 November 2008

Novel Asyik Forsalim, Sehat di Baca

(Baiknya dibaca ketika semangat mulai kendur)

SALADIN Sang Perubah Zaman…

Oleh:

Uyut Haeruman

satu: Seorang Yatim Piatu dari Jadimulya

Indonesia : Agustus 2030

Delapan belas tahun yang lalu, ia mulai terlahir ke dunia ini. Tepatnya pada tanggal 12 Agustus 2012, di sebuah perkampungan di sebelah Timur daerah Jawa Barat bernama Jadimulya. Betapa malang nasibnya, karena semenjak ia lahir ia belum pernah bertemu dengan Ayahnya yang meninggal dunia pada Tragedi Jakarta beberapa bulan sebelum ia dilahirkan.

Tak lama setelah ia terlahir ke dunia, mendapatkan belaian kasih dari seorang ibu, ternyata suratan takdir yang lain telah menunggunya. Takdir yang menghendaki ia mendapatkan pengajaran dari Rabb-nya, seolah ia disiapkan untuk bisa kuat dalam menghadapi berbagai ujian hidup sejak ia lahir, karena kelak ia akan memikul beban yang amat berat dipundaknya, beban yang dapat merontokkan tulang punggung, memecahkan otak yang lelah berfikir, memeras keringat yang tak akan pernah berhenti mengalir karena ia disiapkan untuk menjadi perubah zaman. Zaman yang telah jauh dari nilai-nilai kebenaran, kasih sayang, kedamaian dan kesejahteraan. Zaman yang telah diliputi dengan kegelapan dan kebodohan ditengah gemerlap modernisme, ditengah kemajuan teknologi yang tak berperadaban dan ditengah cengkraman pemimpin yang dzalim yang menjadi babu bagi Fir’aun Millenium Ketiga.

Belum genap dua tahun ia bersama Ibu yang mencintainya, mendidiknya dan mengasuhnya dengan sepenuh hati, ternyata Sang Ibu dipanggil oleh Kekasihnya terlebih dahulu. Sakit yang diderita ibunya begitu singkat, hingga mengantarkannya untuk bertemu dengan Malaikat Izrail yang datang tersenyum menyapanya. Di malam itu, ketika payah memenuhi seluruh raga, Si Kecil duduk disampingnya bersama Sang Nenek. Sang Ibu tak kuasa untuk meninggalkan si kecil yang waktu itu baru pertama kali bisa mengucapkan sebuah kalimat lengkap berbunyi “Adin Tinta Umi kalena AllahSalam buat Abi ya Umi…“. Kata-kata yang mengalir begitu saja dari mulutnya yang mungil itu, meruntuhkan hatinya yang setegar karang, hingga ia tak kuasa menahan air matanya untuk mengalir deras, seolah si kecil sudah tau bahwa ia akan berpisah dengan Ibunya untuk selamanya. Namun bola mata Si Kecil memancarkan sinar Kekuatan, seolah Ia telah siap menerima segala yang akan ia alami, dan hal itulah yang dapat menenangkan hati Sang Ibu, hingga kemudian ia pun tersenyum yakin kepada Sang Khalik yang akan memeliharanya sambil berdo’a ” Ya Allah kutitipkan Ia pada-Mu…“, dan setelah itu pun Sang Ibu tertidur dengan penuh kedamaian.

Rumah panggung yang berada disamping sungai itu kini semakin sepi, karena yang tinggal hanyalah seorang Nenek bersama Cucunya. Cucunya yang malang karena ia sekarang sudah Yatim Piatu. Tidak ada lagi belaian Sang Ibu yang menina-bobokannya dengan lantunan ayat-ayat Al Quran yang mangalun indah yang keluar dari mulut yang basah karena dzikir kepada Allah. Tidak ada lagi yang membuatkan kapal-kapalan dari daun kelapa sambil memberi nasihat, “ Nanti Adin kalo udah besar harus bisa bikin kapal yang beneran ya… Biar nanti bisa ajak Umi dan Nenek keliling dunia “.

Sang Nenek duduk di bawah pohon depan rumah, sementara cucunya tertidur pulas disampingnya, karena lelah bermain. Seketika itu, ia membuka sepucuk surat yang pernah ditulis Menantunya sehari sebelum ia meninggal dunia.

Assalamu’alaikum wr wb.

Bismillahirrahmanirrahim, Alhamdulillahirabbil ‘alamin. Allahumma shalli ‘ala Muhammad.

Ibunda yang saya cintai, sebelumnya saya ingin menyampaikan beribu terima kasih atas segala kebaikan Ibu selama ini. Sungguh, setelah saya menikah dengan Mas Agha, saya merasakan kembali bagaimana rasanya memiliki seorang Ibu, untuk itulah saya menganggap Ibu sebagai ibu kandung saya sendiri.

Pernikahan saya dengan Mas Agha merupakan anugerah yang amat besar yang Allah berikan untuk saya. Beliau adalah suami yang sangat saya cintai. Sejak saya mengenal beliau di kampus, saya mendapati beliau adalah orang yang dipenuhi dengan berbagai sifat kebaikan yang Allah berikan untuknya. Dan saya sangat terkejut ketika Allah mentakdirkan kami untuk bersama, maka semakin nyatalah di mata saya kebaikan-kebakkan yang Mas Agha miliki selama ini.

Beliau adalah suami yang ta’at beribadah, penuh tanggung jawab, peduli terhadap sesama dan sangat gigih dalam memperjuangkan hak-hak agamanya. Saya yakin sifat-sifat semacam itu tidak terlepas dari hasil didikan yang Ibu berikan kepadanya semenjak kecil.

Setelah kami mengetahui bahwa kami dikaruniai seorang anak, batapa bahagianya Mas Agha waktu itu. Sampai-sampai dia menggendong saya dari dalam Rumah Sakit sampai ke pintu mobil, tanpa menghiraukan orang-orang yang keheranan di sepanjang jalan yang kami lewati. Kami pun semenjak itu mulai merencanakan hal-hal yang berkaitan dengan masa depan anak kami. Mulai dari merencanakan nama, merencanakan tempat tinggal baru dan merencanakan pendidikan yang bisa ia dapatkan dikemudian hari. Bagitu banyak mimpi yang kami buat bersama waktu itu.

Namun malang, ternyata takdir berbicara lain. Mimpi tinggallah mimpi…, mimpi yang kami bangun sedemikian tinggi tiba-tiba hancur dengan sebuah kejadian yang tidak pernah kami bayangkan sebelumnya. Ya, Tragedi Jakarta itu Bu…, tragedi yang menghapus segala harapan banyak orang. Manakala Mas Agha mau menyampaikan pidato pertamanya setelah ia dinobatkan untuk menjadi pemimpin negeri ini, tiba-tiba sebuah peluru yang tak berdosa bersarang di dadanya. Membuat negeri ini bergoncang hebat karena mereka tidak kehilangan seorang manusia, akan tetapi mereka kahilangan masa depan yang selama ini ia cita-citakan.

Adapun saya sendiri Bu, saya hanya bisa menjerit, terpaku karena mimpi buruk yang datang disiang bolong itu. Saya tidak pernah membayangkan semuanya akan berakhir demikian. Bahkan sejak awal Mas Agha memang tidak mau dicalonkan untuk menjadi Pemimpin Negeri ini, namun karena begitu besarnya kepercayaan yang diberikan ummat kepadanya, akhirnya Mas Agha pun menerima.

Dan setelah kejadian itu, separuh nyawa saya seakan hilang bersama Mas Agha. Harapan saya untuk hidup di dunia ini seakan tidak berarti, sampai kemudian Allah menegur saya dengan keberadaan anak yang saya kandung. Bayi yang berumur 7 bulan dalam kandungan saya waktu itu, seolah membisiki hati nurani saya bahwa saya tidak boleh berputus asa atas musibah yang Allah berikan. Dan sejak saat itulah harapan saya kembali muncul, mencoba merangkai kembali impian-impian yang pernah saya bangun bersama Mas Agha, tentang masa depan anak kami. Akhirnya saya pun berhasil bangkit untuk memberikan hal terbaik yang bisa saya berikan bagi anak saya.

Namun Bu, entah kenapa, setiap kali saya melihat Adin kecil, saya selalu teringat dengan Mas Agha. Dan membuat saya kembali mengenang memori-memori indah yang pernah kami lalui bersama. Sakit rasanya Bu, ketika memori itu datang dan kemudian terbentur dengan kenyataan. Dan mungkin itu pula yang membuat saya sekarang ini sering sakit-sakitan. Saya sudah mencoba untuk lebih memikirkan masa depan adin, namun entah kenapa Bayangan Mas Agha selalu hadir dalam tidur saya akhir-akhir ini, seolah ia mengajak saya untuk tinggal bersamanya dan meninggalkan Adin kecil.

Saya mencoba untuk melawan bayangan tersebut karena saya yakin Adin lebih membutuhkan saya daripada bayangan Mas Agha yang hanya hadir membayangi saya. Namun entah kenapa akhir-akhir ini bayangan tersebut seringkali muncul. Dan di mimpi yang terakhir, bahkan Mas Agha berpesan kepada saya, “Titipkanlah Adin kepada Allah…” . Sejak saat itulah sakit saya semakin menjadi. Dan saya merasa waktu saya di dunia ini tidak akan lama lagi. Untuk itulah saya menuliskan sepucuk surat ini untuk ibu. Agar suatu saat nanti Adin tau apa yang terjadi pada kedua orang tuanya. Dan kami yakin ibu bisa melanjutkan harapan kami terhadap Adin. ia harus tumbuh menjadi Pemuda yang Kuat, yang tertanam pada dirinya segala sifat kebaikan yang diwarisi ayahnya, menjadi pejuang bagi agamanya, bermanfaat bagi orang-orang disekitarnya dan yang terpenting Ia satu hal terbesar yang kami harapkan dari Adin di kemudian hari adalah dia bisa menjadi “Sang Perubah Zaman”, yang bisa membuat dunia ini kembali tersenyum dalam naungan cahaya Ilahi yang diperjuangkan oleh orang-orang yang ikhlas berjuang di jalan-Nya.

Demikian surat ini saya buat, tolong sampaikan kepada Adin, “Umi Nisa sayang sekali sama Adin…

Anakmu,


Annisa

………

dua: Masa Kecil dan Persahabatan

Jadimulya : Juli 2018

Hari berganti hari, masa berganti masa. Adin kecil kini sudah berumur 6 tahun. Empat tahun dalam asuhan Sang Nenek ternyata mampu membentu Adin kecil menjadi seorang anak yang Sehat, Cerdas, dan Atraktif. Mungkin banyak faktor yang membentuknya sedemikian. Darah yang mengalir di dalam tubuhnya merupakan perpaduan dari dua insan sholih, yang menjadi panutan di masyarakatnya. Yang membuat dunia tersenyum ketika menyaksikan janji suci yang pernah terucap di antara mereka, sebagai pertanda akan lahirnya manusia pilihan yang akan meneruskan risalah perjuangan rasulnya. Manusia pilihan yang akan mengubah wajah dunia yang kini sedang muram. Dia adalah manusia biasa yang dibimbing oleh Rabb-nya dengan berbagai hikmah hidup yang akan ia jalani. Dan saat ini, Adin kecil sedang menjalani masa-masa kecilnya yang penuh warna, kepolosan dan persahabatan. Ia belum tau kehidupan semacam apa yang akan ia hadapi di kemudian hari, yang ia tau saat ini ia diajarkan neneknya untuk menjadi murid yang baik di hari pertama ia masuk sekolah.

Jadimulya merupakan daerah pegunungan yang masih masih alami, hutan-hutan yang rindang dengan pohon-pohon besar dan dihuni hewan-hewan liar, bahkan tak jarang sering terlihat monyet-monyet bergelantungan di dekat rumah di tepi sungai Ciranto . Sungai tempat adin bermain dengan teman-temannya, berenang atau menangkap ikan ketika musim kemarau datang. Airnya jernih dan tempatnya sejuk, karena banyak ditumbuhi pohon-pohon rindang ditepinya. Airnya yang dangkal, banyak kerikil dan alirannya yang tidak terlalu deras, sehingga cocok dijadikan tempat bermain bagi Adin dan teman-temannya .

Tidak jauh dari belakang rumah, terdapat pesawahan yang berbentuk terasering. Beberapa lahan sawah tersebut miliki Sang Nenek, dan di salah satu petak sawah tersebut terdapat satu saung yang mereka biasa menyebutnya saung nenek. Tempat di mana Adin dan teman-temannya sering berkumpul. Kadang Adin sendiri dan kadang juga bersama teman-teman karibnya, Ali, Bima dan Saski. Merekalah teman-teman yang biasa mengisi lembaran masa kecil Adin di Jadimulya.

Ali teman sebangku Adin di sekolah, dia putra Pak Ustadz Karim. Anaknya pintar dan selalu masuk 5 besar di kelas. Baca Al Qurannya sangat fasih, dan lebih fasih dari Adin, mungkin karena didikan orang tuanya. Ketika berumur 5 tahun, Ali sudah hafal Juz Amma. Ustadz Karim amat perhatian dalam mendidik Ali, anak satu-satunya itu. Ibu Ali meninggal saat Ali berumur 4 tahun karena sakit parah, sehingga Ali betul-betul mendapatkan kasih sayang dari ustadz Karim. Ya, mungkin Ali sedikit lebih beruntung daripada Adin, karena ia masih memiliki Ayah yang membersamainya. Kehidupan Ustadz Karim memang sangat sederhana, tapi Ali tidak pernah mengeluh dan merasa kekurangan. Selain mengajar ngaji, Ustadz Karim juga berprofesi sebagai Petani Bayaran, menggarap sawah punya orang lain yang tinggal di kota, dan dia dapat upah dari hasil garapannya tersebut.

Bima lebih beruntung daripada Adin dan Ali. Kedua orang tuanya masih ada dan kehidupannya sangat berkecukupan. Ayah Bima menjadi orang terpandang di kampung. Beliau pemilik perkebunan pohon jati yang sangat luas, yang hasil kayunya biasa beliau jual ke kota-kota besar. Namun meskipun berkecukupan, Bima dan keluaganya sangat bersahaja. Mereka sangat baik dan perhatian terhadap kondisi masyarakat sekitarnya. Ayah Bima menjadi donatur tetap SD Jadimulya, bahkan beliau adalah salah seorang yang mempelopori berdirinya SD Jadimulya tersebut. Kearifan dan kesahajaannya orang tuanya itu pula yang mewarisi sikap Bima, meskipun dia anak orang berada, tapi tidak pernah sombong dan biasa berbaur dengan teman-temannya yang lain. Adin, Ali sama Saski sering diajak bermain ke rumahnya dan sering disuguhi makan-makanan yang enak oleh ibunya.

Satu-satunya teman perempuan yang sering bermain dengan Adin dan teman-temannya adalah Saski. Ibunya seorang guru di SD Jadimulya, Bu Fitri namanya. Bu Fitri bersikap sangat baik terhadap Adin, kebaikannya bukan hanya karena Adin adalah anak yang cerdas di sekolah, tapi karena simpatinya yang besar melihat keadaan Adin yang haus kasih sayang dari orang tua.

Betapapun Sang Nenek telah mengurus, mengasuh dan mendidik Adin dengan penuh kasih sayang, Sang Nenek yang kini berusia 55 tahun itu tentunya tidak bisa menggantikan peran Sang Ibu yang Adin harapkan, sehingga kehadiran Bu Fitri dalam hidupnya seolah mengisi kekosongan tersebut. Adin telah lupa bagaimana rasanya kasih sayang seorang ibu, karena saat-saat yang dialami bersama Sang ibu, adalah saat-saat dimana ia belum bisa menyimpan seluruh memori dibenaknya. Ia hanya bisa melihat senyum tulus Sang Ibu dari selembar potret yang sudah usang, sambil membayangkan kehangatan yang mungkin ia rasakan ketika Sang Ibu mendekap tubuh mungilnya, membayangkan ketika Sang Ibu bercanda menggelitikinya, hingga keluarlah gelak tawanya. Ya.. itulah yang biasa Adin bayangkan ketika melihat anak seumuran itu beserta ibunya.

Saski anak yang cantik, baik hati, periang dan pandai. Sejak kelas satu, ia selalu menjadi saingan Adin di kelas dalam memperebutkan rangking satu. Tapi meksipun saling bersaing, mereka tidak pernah bermusuhan, bahkan Adin sudah menganggap Saski sebagai adiknya sendiri. Mereka sering belajar bersama. Sore menjelang maghrib, Adin biasa menjemputnya untuk berangkat mengaji di Masjid dekat rumah Ali. Saski juga pandai dalam mengaji, terlebih salam membaca tilawah, karena suaranya yang bagus. Semenjak kelas 3 Ustadz Karim biasa meminta ia untuk mengajar anak-anak dibawah usianya. Karena suaranya yang bagus itu, Ustadz Karim mengajarinya Qiro’ah, baca Al Quran dengan lagu. Dan Saski biasa diminta menjadi pembaca tilawah Al Quran jika ada acara Pengajian Akbar, atau peringatan Hari-Hari besar Islam di sekolah. Bahkan ia selalu jadi juara MTQ di Kecamatan.

Saski mulai menggunakan jilbab sejak kelas 3 SD, atas kemauannya sendiri. Waktu belum menggunakan jilbab, dia biasa mengikat rambutnya yang terurai panjang dengan satu ikatan di belakang. Dan di ulang tahunnya yang ke-8, Adin memberi hadiah sebuah ikat rambut. Ikat rambut yang terdapat hiasan dua ekor angsa berwarna kristal bening yang saling berhadapan, dan kepalanya kedua angsa itu membentuk hati. Hadiah tersebut Adin beli dari hasil menabungnya selama sebulan. Semenjak Saski menggunakan jilbab, Adin belum pernah lagi sekalipun melihat angsa itu menempel di rambutnya.

Merekalah teman-teman akrab Adin ketika kecil. Mereka biasa menghabiskan hari bersama, bermain, berbagi cerita, berkhayal tentang cita-cita, dan lain sebagainya. Hampir setiap hari sepulang Sekolah, mereka bermain dan belajar di saung nenek, dan tanpa terasa hal itu mereka lakukan sejak mereka saling mengenal di sekolah hingga sekarang menginjak semester akhir di kelas 6.

Ya, Semester akhir kelas 6, dan itulah saat-saat terakhir mereka menghabiskan waktu bersama. Karena tidak lama kemudian mereka berpisah untuk melanjutkan sekolah di tempat yang berbeda. Ali melanjutkan sekolahnya di Gontor, Bima bersama Pamannya di Jakarta dan Saski bersama Bu Fitri yang dialih tugaskan ke daerah asalnya di Jawa Tengah, di Purworejo. Sedangkan Adin, Sang Nenek menitipkannya pada Sang Paman untuk bersekolah di Kota tempat dimana ayahnya dibesarkan, Banjar.

Sebelum berpisah, mereka membuat prasasti dengan menuliskan nama masing-masing di sebuah batu yang tidak terlalu besar. Di permukaan batu itu mereka menuliskan,

- ADIN -

- ALI -

- BIMA -

- SASKI -

“SAHABAT SELAMANYA”

Mereka menyimpan batu itu di dalam kaleng kue bekas, kemudian menguburkannya di bawah saung nenek, dan sejak itu mereka belum pernah bertemu kembali…


Tidak ada komentar: