Jumat, 25 Desember 2009

PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI INDONESIA Bag II




Artikel - Th. II - No. 2 - April 2003

Oleh: Prof. Dr. Mubyarto

Guru Besar FE UGM, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM


III. Lokakarya kita 2 hari ini bagi sementara orang memang bertajuk kurang menarik, yaitu hanya membahas “aplikasi manual tentang penanggulangan kemiskinan bersasaran” (A Manual for Evaluating Targeted Poverty Alleviation Programmes), “lebih-lebih” dengan bahasa Inggris.

Namun karena telah ada putusan panitia penyelenggara bahwa pada hari kedua ini kita boleh penuh menggunakan bahasa Indonesia atau bagi saya bahasa Jawa di sana-sini, sebaiknya kita berusaha maksimal memanfaatkannya.

Manual yang dimaksud dan kuisioner yang menyertainya telah saya terapkan (diujicobakan) di 5 kabupaten/kota di propinsi DIY mulai September 2002–Januari 2003 dan sebagian hasilnya saya laporkan dalam makalah dengan bahasa Inggris yang “bopeng-bopeng”.

Tiga kritik utama saya terhadap manual ini adalah: Pertama, pendekatannya masih kurang cocok dengan kondisi sosial-ekonomi-budaya riil Indonesia yang masih bersifat dualistik, yaitu masih adanya perbedaan besar antara sektor modern-industrial dan sektor tradisional perdesaan (ekonomi rakyat).

Kedua, pendekatan terhadap responden/peserta program penanggulangan kemiskinan bersasaran (PKB) sangat individual/perorangan, padahal dalam kenyataan di semua program PKB peranan kelompok masyarakat (Pokmas) sangat besar.

Ketiga, pada bidang usaha/kegiatan ekonomi diasumsikan adanya pemisahan yang jelas/tegas antara kegiatan ekonomi rumah tangga sehari-hari dengan usaha/bisnis termasuk dalam pembukuannya. Namun harus diakui bahwa manual ini benar-benar sangat bermanfaat dan menggugah kita di Indonesia yang selama ini belum pernah membuat upaya-upaya seperti ini, yaitu mengadakan evaluasi secara kuantitatif dampak program (sosial/ekonomi) PKB.

Memang kita sudah sering berbicara tentang MONEV (Monitoring and Evaluation) tetapi belum pernah mengukur secara kuantitatif dampak program-program ini pada tingkat rumah tangga (household), lebih-lebih pada tingkat pemanfaat langsung (beneficiary) dan juga pada tingkat Pokmas beranggotakan 15-30 orang.

Jadi yang sering terjadi, meskipun kita sering megadakan MONEV di berbagai daerah kabupaten/kota atau propinsi, namun laporannya selalu bersifat non kuantitatif, yaitu, baik, sedang, kurang, dan sebagainya, dan tidak pernah dapat menunjukkan berapa persen pendapatan penduduk/penerima manfaat telah meningkat sebagai hasil dari program tertentu dan berapa persen penduduk miskin telah menjadi tidak miskin lagi per desa, per kabupaten, dan per propinsi.

Satu dua propinsi seperti DIY dan Bali melaporkan berhasil melaksanakan program IDT, tetapi tidak ada laporan secara kuantitatif berapa ribu orang telah dibebaskan dari kemiskinannya selama 8-9 tahun program IDT, dan berapa persen kenaikan pendapatan mereka yang telah tidak miskin lagi.

Dampak negatif belum adanya evaluasi kuantitatif ini sangat jelas yaitu pemerintah tidak pernah mampu untuk mempertajam program-progam PKB, yaitu di daerah-daerah mana saja program-program perlu dikendorkan karena masyarakat/ ekonomi rakyat sudah dapat mandiri/diberdayakan, dan di daerah mana saja program-program masih perlu ditingkatkan berdasar dan mengambil pelajaran dari pelaksanaan program-program serupa di daerah yang telah berhasil seperti DIY dan Bali tersebut.

“Studi banding” dalam arti sebenarnya jarang dilakukan pejabat, bahkan jika mereka bertemu dalam konperensi nasional/regional pun yang mereka tukar pendapatkan bukan upaya-upaya konkrit melaksanakan program-program yang baik tetapi sekedar omong-omong “kagum-mengagumi” praktek-praktek tertentu tanpa tindak lanjut perincian program-program yang dikagumi sebagai program-program yang berhasil.

Maka Manual ESCAP ini dengan penyempurnaan-penyempurnaan kita dan penyesuaian tertentu pada budaya nasional/regional kita di Indonesia dapat menjadi titik awal metode ilmiah evaluasi (dan monitoring) macam-macam PKB kita seperti yang kini kita laksanakan, yaitu PPK.

PPK yang merupakan peningkatan program IDT dalam perhitungan kita baru dapat meningkatkan pendapatan sebessar 11% dibanding 97% pada program IDT (pada tingkat rumah tangga/household), meskipun pada tingkat pemanfaat (beneficiaries) sebesar 63,2%, lebih tinggi dibanding IDT yang 35,4%.

Akhirnya kami ucapkan terima kasih kepaa UN-ESCAP yang telah memberikan kepercayaan untuk mengujicobakan manual ini di Yogyakarta, tempat kedudukan kami.

Seandainya lokakarya ini dapat dilaksanakan di Yogyakarta tentu dapat lebih menarik lagi bagi para peserta yang kemudian dapat mengadakan pembicaraan “tatap muka” langsung dengan orang-orang anggota pokmas yang telah naik tingkat dari miskin menjadi tidak miskin lagi.

Mudah-mudahan pemerintah Indonesia dapat benar-benar tergugah untuk melaksanakan evaluasi-evaluasi kuantitatif seperti ini di semua daerah dan hasil-hasilnya ditindaklanjuti setiap tahun dalam bentuk penajaman program-program penanggulangan kemiskinan bersasaran.

Jakarta, 6 Maret 2003

Jumat, 18 Desember 2009

PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI INDONESIA Bag I

[Artikel - Th. II - No. 2 - April 2003]





Oleh: Prof. Dr. Mubyarto

Guru Besar FE UGM, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM



PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI INDONESIA

I. Sampai kira-kira 28 tahun lalu (1975) kemiskinan bukanlah topik bahasan seminar dan surat-surat kabar. Baik masyarakat maupun pemerintah “tabu” membahasnya. Pembangunan dianggap akan menghapuskan kemiskinan “dengan sendirinya”. Dan pakar ekonomi dengan analisis-analisisnya berdiri paling depan dalam barisan para pakar yang manganggap bahwa pertumbuhan ekonomi cukup mampu mengatasi segala masalah sosial ekonomi bangsa.

Selama periode 1976-1996 (20 tahun, Repelita II-V) angka kemiskinan Indonesia turun drastis dari 40% menjadi 11% yang dianggap cukup menjadi pembenaran bahwa pertumbuhan ekonomi rata-rata 7% par tahun dalam periode itu adalah faktor penentunya. Maka krismon 1997-98 yang kembali meningkatkan angka kemiskinan menjadi 24% tahun 1998 dengan mudah dijadikan alasan kuat lain bahwa memang pertumbuhan ekonomi “adalah segala-galanya”.

Kesimpulan saya, pakar ekonomi (teknokrat ekonomi) bukanlah pendukung kuat kebijakan dan program-program penanggulangan kemiskinan di Indonesia.

Economic science has produced mostly “universal” intellectuals. I think it is time for economists to start transforming themselves __ and to do it fast __ into more “specific”, humble intellectuals (Alejandro Sanz de Santamaria in Ekins and Max-Neef, 1992:20).

[1] Ekins, Paul & Manfred Max-Neef, 1992, Real-Life Economics, Routledge London – New York, p. 20


II. Program Penanggulangan Kemiskinan bersasaran (targeted poverty alleviation) paling serius dalam sejarah bangsa Indonesia adalah program IDT di sepertiga desa di Indonesia, dan program Takesra/Kukesra di dua pertiga desa lainnya.

Keduanya didasarkan atas Inpres 5/1993 dan Inpres 3/1996, yang pertama dengan anggaran dari APBN dan yang kedua dari APBN ditambah bantuan “konglomerat”.

Program IDT maupun Takesra/Kukesra keduanya dilaksanakan melalui pendekatan kelompok sasaran antara 15-30 kepala keluarga dengan pemberian modal bergulir, yang pertama (IDT) sebagai hibah dan yang kedua sebagai pinjaman/kredit mikro.

Meskipun terkesan di masyarakat luas bahwa program IDT dan Takesra/Kukesra ini semuanya sudah “gagal total” karena tidak ada lagi dana segar yang disalurkan kepada penduduk miskin, dan sudah ada program-program penggantinya yaitu PPK (Program Pengembangan Kecamatan), tetapi penelitian kami sekaligus mengujicoba kuesioner dan Manual ESCAP di DIY membuktikan yang sebaliknya.

Dana hibah program IDT di Karangawen, Gunungkidul, telah meningkatkan pendapatan penduduk miskin sebesar 97% selama 8 tahun (1994-2002). Meskipun dana IDT diberikan sebagai hibah pemerintah pusat kepada 123.000 pokmas di seluruh Indonesia, tetapi di Karangawen otomatis dijadikan model simpan pinjam yang kini telah berkembang 126%.

Bukti dari lapangan ini menunjukkan bahwa rakyat / penduduk miskin tidak pernah memperlakukan dana IDT sebagai program belas kasihan (charity) tetapi benar-benar sebagai dana program pemberdayaan ekonomi rakyat yang mampu mengembangkan masyarakat desa yang mandiri dan percaya diri.

Dalam kaitan ini saya sedih sekali dan sulit memahami arogansi pakar-pakar ekonomi dan sosial yang enggan pergi ke desa-desa dan selalu menolak hasil-hasil penelitian apapun yang menunjukkan rakyat/penduduk miskin bukan orang-orang bodoh, malas, sehingga hanya bisa maju dengan instruksi dari pemerintah atau orang-orang “pandai” dari luar.

Dari kasus ini terbukti bahwa justru bukan rakyat/penduduk miskin yang bodoh/malas, tetapi para pakar ekonomi/sosial itulah sebenarnya yang malas/bodoh. Dalam pada itu aparat birokrasi yang berbicara lancar tentang segala program “taskin”, dalam kenyataan sering memperlihatkan kepedulian dan komitmen yang amat rendah terhadap kehidupan dan nasib penduduk miskin di daerahnya.

Ada seorang bupati di Bengkulu yang tidak peduli pada anggota pokmas IDT yang telah ditipu pengusaha pemasok sapi setempat padahal 4 bulan sebelumnya sudah ada “laporan” masuk tentang hal itu di kantornya. Di Maluku seorang pejabat PMD kecamatan tidak berterima kasih tetapi malah mengeluh “tambah kerjaan” saat dikonfirmasi (1996) bahwa seluruh kota di propinsi, kabupaten/kota di “IDT” kan. Faktor-faktor itulah yang secara keseluruhan mempersulit upaya penanggulangan kemiskinan bersasaran di Indonesia.

Bersambung.


Jakarta, 6 Maret 2003

Sabtu, 12 Desember 2009

Yuk Berwirausaha

Menjadi Entrepreneur Muslim

Islam dan Kewirausahaan

BERBUAT BAIK DAPAT MENENANGKAN OTAK DAN MENYEHATKAN BADAN

(Buku Kewirausahaan : Prof. Dr. Buchari Alma (Guru Besar Ekonomi Kewirausahaan UPI Bandung)

April 2003, Penerbit ALFABETA)



Berwirausaha memberi peluang kepada seseorang untuk banyak-banyak berbuat baik, bukan sebaliknya. Berbuat baik dalam wirausaha perdagangan misalnya membantu kemudahan bagi orang yang berbelanja, kemudahan memperoleh alat pemenuhan kebutuhan, pelayanan cepat, memberi potongan, memuaskan hati konsumen, dan sebagainya.

Perbuatan baik akan menenangkan otak. Selanjutnya bila otak tenang akan membuat jasmani menjadi sehat. Banyak berbuat baik, akan sangat menyehatkan bagi sipelaku dan juga bagi orang yang melihatnya. Lebih jauh lagi mereka yang selalu ingin berbuat baik dan membantu meringankan penderitaan orang lain, otaknya senang, tubuhkan akan lebih kebal terhadap penyakit. Jadi ada hubungan antara berbuat baik dengan kesehatan badan.

Hal tersebut diungkapkan dalam sebuah buku yang berjudul “The Healing Brain” (Otak yang menyembuhkan) yang ditulis oleh Robert Ornstein dan Dokter David Sobel, yang telah memenangkan American Health Award (Majalah Tempo, 25 Juli 1988).

Diungkapkannya bahwa fungsi otak yang utama bukan untuk berfikir, tetapi untuk mengendalikan system kesehatan tubuh. Menurutnya vitalitas otak dalam menjaga kesehatan ternyata banyak bergantung pada frekuensi perbuatan baik. Manusia adalah makhluk social, bergaul, bermuamalah, bekerjasama, tolong menolong, dan kegiatan komunikasi dengan orang lain adalah sebuah aspek kerja otak yang paling utama.

Berbuat baik adalah keadaan yang paling intens dalam hubungan dengan orang lain, terbukti efektif dalam menjaga keseimbangan otak. Keadaan seimbang ini diperlukan untuk mengontrol kesehatan tubuh. Pandangan-pandangan yang diungkapkan dalam buku tersebut bukan tidak beralasan, tetapi mereka beranjak dari hasil penelitian, antara lain penelitian terhadap para pekerja di bidang social, ternyata mempunyai kondisi kesehatan lebih baik dari rata-rata dan harapan hidup lebih tinggi. Penelitian selama 9 tahun terhadap orang-orang yang suka hidup menyendiri, tidak kawin, tidak bergaul, persentase mereka lebih besar terserang penyakit berat dan angka kematiannya ada dua setengah kali lebih tinggi dari kelompok orang-orang normal.

Altruisme atau perilaku yang mengutamakan membantu kepentingan orang lain, dapat meringankan tubuh dari perasaan stress berlebihan. Perbuatan baik menimbulkan rasa bahagia diri, dan ini akan merangsang pembentukan zat antibody dalam system kekebalan tubuh. Sebuah percobaan yang dilakukan David Mc Clelland meminta sejumlah pemuda menonton film tentang upaya pekerjaa social menolong orang miskin di Calcutta, India. Kadar darah responden di tes dua kali, sebelum dan sesudah menonton film. Ternyata setelah menonton kadar “Immunoglubulin A” yaitu salah satu zat antibody mengalami kenaikan yang sangat berarti. Kenaikan zat ini terjadi hanya dengan menonton orang lain berbuat baik, apalagi jika perbuatan baik itu kita lakukan sendiri.

Di dalam Islam sudah seringkali dianjurkan untuk berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan. Mungkin anjuran ini belum diketahui betul apa maknanya. Apa yang terjadi dibalik anjuran tersebut. Apakah hanya sekedar kita membantu orang lain yang kesusahan, kita meringankan beban orang lain ? Rupanya pekerjaan berbuat baik akan menenangkan otak. Otak tenang dan sehat akan merangsang pembentukan zat antibody dalam darah, dan akan meningkatkan kekebalan tubuh.

Di dalam dunia bisnis, banyak muncul pikiran tidak tenang, stress makin meningkat dan terjadi setiap saat, ini terjadi karena ada pola usaha yang tidak benar, ada pikiran-pikiran jahat, sangat agresif dalam persaingan, ingin menjatuhkan pesaing, sering marah, ingin menang sendiri, ini adalah penyebab-penyebab yang berujung pada munculnya berbagai penyakit. Obat yang paling utama ialah selalu berbuat baik, dekat dengan Allah, bagaimanapun sibuknya kita berbisnis.

Simaklah berbagai ajaran melalui hadis dan Al-Quran yang menyuruh kita agar mempermudah urusan orang lain, apalagi bila kita memiliki posisi kunci, decision maker, atau kapan saja kita dapat membantu, jangan mempersulit hal-hal yang mudah.

Anjuran agar membuat kemudahan dan jangan mempersulit atau menggelisahkan orang lain dapat kita renungkan dari hadis berikut : yang artinya :

“Hadis Abi Musa dan Mu’adz dari Sa’id bin Abu Burdah dari ayahnya berkata: nabi telah mengutus neneknya yaitu Abu Musa dan Mu’adz ke Yaman maka Nabi berpesan : “Ringankan atau mudahkanlah, jangan mempersukar, gembirakanlah jangan menggusarkan dan saling mengalahkan diantaramu (HR. Bukhari)

Saling mengalahkan dalam hadis ini jangan berisi tegang dan saling toleransi, dan saling memberi dan saling memudahkan orang lain.

Hadis dari Anas dari Nabi SAW : Nabi bersabda :” Ringankanlah (dakwahmu) dan jangan mempersukar dan gembirakan (pengikutmu) dan jangan kamu gusarkan (jangan membuat orang lain gelisah). (HR. Bukhari)

Perilaku mau memudahkan dan membantu urusan orang lain berlaku dalam segala kehidupan, apakah kita sebagai guru, pedagang, pegawai bawahan, atasan, sopir, polisi, pelajar dll.

Jangan katakana besok apa yang dapat kita Bantu dan selesaikan sekarang.

Senin, 07 Desember 2009

Cyber Syariah Bank

Visi

Menjadi Bank Syariah Terpercaya Pilihan Mitra Usaha



Misi
  • Mewujudkan pertumbuhan dan keuntungan yang berkesinambungan
  • Mengutamakan penghimpunan dana konsumer dan penyaluran pembiayaan pada segmen UMKM
  • Merekrut dan mengembangkan pegawai profesional dalam lingkungan kerja yang sehat
  • Mengembangkan nilai-nilai syariah universal
  • Menyelenggarakan operasional bank sesuai standar perbankan yang sehat.


Program

1.

2.

3.

4.

5.



Perbankan syariah atau Perbankan Islam adalah suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan syariah (hukum) islam. Usaha pembentukan sistem ini didasari oleh larangan dalam agama islam untuk memungut maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba serta larangan investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram (misal: usaha yang berkaitan dengan produksi makanan/minuman haram, usaha media yang tidak islami dll), dimana hal ini tidak dapat dijamin oleh sistem perbankan konvensional.


Rabu, 25 November 2009

Surat Terbuka untuk Calon Ahli surga Yang Akhlaq Mereka Dicemburui Bidadari

*tulisan ini sy dptkan dr seorang sahabat.
*kepada Akhi yg telah membuat tulisan ini, mohon izinnya untuk sy menyebarkan dan mengingatkan sdri2 qta yg lain, semoga Allah memberkahi antum.
*untuk saudari2ku, berbahagialah atas berita gembira ini...

==========================
====================================


Buat Saudariku

yang dirahmati oleh Allah

Saturday, 21 November 2009 at 16:33

Assalamu ‘alaikum warahmatullah wabarakatuh

Ukhti yang baik,

Kecantikan adalah anugerah. Senyum manis adalah berkah. Sungguh karunia dari Allah bahwa wanita diciptakan memiliki kecantikan yang sangat mempesona. Dan kecantikan itulah yang akan menjadi jalannya menuju surga, jika ia mampu membarenginya dengan akhlaq yang mulia.


Rasulullah menjelaskan bahwa di antara fitrah lelaki adalah menyukai kecantikan wanita. Bahkan ‘Aisyah yang merupakan salah seorang shahabiyah paling pandai di masa itu, terkenal pula karena kecantikannya. Rasulullah menjulukinya Humaira`: Gadis yang pipinya merona merah.


Dan karena kecantikannya itu, wanita dapat mengumpulkan pahala yang sebesar-besarnya dari Allah. Caranya? Bersyukurlah atas nikmat yang Allah berikan itu dan pandailah menjaga diri. Rasulullah mengajarkan cara bersyukur itu dengan membiasakan diri membaca do’a tatkala bercermin yang maknanya,


“Ya Allah… Sebagaimana Engkau telah mengelokkan parasku, elokkan pulalah akhlaqku…”

Ukhti yang dijaga oleh Allah…

Tak ada yang salah dengan kecantikan, karena, seperti kata pepatah, kecantikan bukanlah suatu dosa. Tapi sungguh itu tak berarti bahwa setiap wajah yang cantik berhak dijadikan barang tontonan. Kami kaum pria sangat bersedih karena sekarang ini banyak di antara kawan-kawan Ukhti yang gemar memajang wajah cantik mereka di profil Facebook. Juga di blog-blog yang katanya pribadi, tapi nyatanya dapat diakses oleh siapapun.



Ini adalah satu hal yang sangat marak belakangan ini. Satu hal yang dianggap lumrah, sehingga para gadis berjilbab itu memasang pose-pose mereka di foto-foto yang kian hari kian bertambah jumlahnya. Seakan nama saja sudah tidak cukup.



Mohon Ukhti tanyakan pada mereka, apa sesungguhnya tujuan mereka memajang foto tersebut di tempat-tempat publik? Yakni foto dengan gaya yang menggoda serta senyum yang memikat!



Jika tujuan berjilbab itu adalah agar menutupi aurat dan terhindar dari pandangan-pandangan jahat, apakah itu pula yang menjadi tujuan mereka saat bergaya di depan kamera dan memamerkannya pada setiap orang?



Jika berjilbab itu tujuannya adalah mencari ridho Allah, apakah tujuan memperlihatkan foto-foto itupun adalah ridho Allah? Apakah betul Allah akan ridho pada wanita yang melakukan hal itu?


Ukhti yang baik,

Kami kaum pria sangat bersedih menghadapi fenomena ini. Mengapa? Karena mungkin saja di antara gadis-gadis yang fotonya tersebar di seantero jagad ini adalah istri atau calon istri kami. Apakah mereka tidak tahu bahwa foto mereka tersimpan dalam komputer puluhan, ratusan atau bahkan mungkin jutaan pria lain yang tidak berhak? Yang mungkin saja dijadikan sarana oleh para pendosa sebagai ajang bermaksiat? Apakah mereka mengijinkan pria-pria selain suami mereka itu menyimpan foto-foto tersebut?


Ukhti,

Kami kaum pria sangat bersedih mendapati semua ini. Mengapa? Karena mungkin saja di antara foto yang tersebar luas itu adalah ibu atau calon ibu kami, yang seharusnya menunjukkan caranya menjaga diri, bukan dengan menunjukkan hal-hal yang seharusnya disembunyikan…



Kami kaum pria sangat bersedih menyaksikan semua ini. Mengapa? Karena mungkin saja di antara foto yang tersebar luas itu adalah guru atau calon guru kami, yang seharusnya mendidik dan mengajarkan Al Qur’an serta akhlaqul karimah kepada kami.



Apakah semua ini akan dibiarkan begitu saja tanpa ada penyelesaian? Tanpa ada seorangpun yang berani menegur serta mengingatkannya, memberitahukan bahwa itu adalah sebuah kesalahan? Atau harus menunggu tangan-tangan jahat memanfaatkannya untuk merusak harga diri dan menyebarkan aib yang seharusnya ditutup rapat-rapat?


Ukhti yang baik…

Jazakillah khairan… Terima kasih banyak karena Ukhti tetap pandai menjaga diri dari sekecil apapun celah-celah kealpaan. Tapi tolong sampaikan pula pada kawan-kawan Ukhti, agar merekapun mengikuti jejak ukhti dengan menghapus foto-foto mereka dari Facebook dan blog-blog mereka. Sampaikanlah pada mereka agar menahan diri dari keinginan menunjukkan eksistensi diri di hadapan pria yang tidak berhak.



Jika mereka ingin menunjukkan kepada orang-orang bahwa mereka cantik, cukuplah tunjukkan pada suami mereka saja. Atau orang tua dan anak-anak mereka saja. Karena Allah Maha Tahu segala sesuatu. Jika mereka membutuhkan sanjungan atas kecantikan yang telah dianugerahkan Allah pada mereka, biarlah Allah saja yang menyanjungnya, dengan balasan berlipat-lipat ganda di hari akhirat kelak.



Dan jika mereka ingin kecantikan mereka dikagumi, biarkanlah suami mereka saja yang mengagumi, lalu memberikannya sejuta hadiah cinta yang tidak akan pernah ada bandingnya…



Sementara kami, kaum pria yang tidak atau belum berhak atas itu semua, biarlah asyik masyuk tenggelam dalam do’a, agar dianugerahi istri yang cantik dan shalehah, ibu yang baik dan bersahaja, guru yang taat dan menjaga martabatnya…



Agar Allah mengumpulkan kita kelak di surgaNya. Meraih ridho dan ampunanNya serta dihindarkan dari adzab neraka…



Atas perhatian dari Ukhti, saya ucapkan jazakillah khairal jaza…

Wassalamu ‘alaikum warahmatullah wabarakatuh:

Agus Haeruman, S.T.


MEMBANGKITKAN EKONOMI KERAKYATAN MELALUI GERAKAN KOPERASI; Bag III



[Artikel - Th. I - No. 6 - Agustus 2002]

Prof. Mubyarto

MEMBANGKITKAN EKONOMI KERAKYATAN MELALUI GERAKAN KOPERASI: PERAN PERGURUAN TINGGI



V . Pengajaran Ilmu Ekonomi

Satu kesalahan besar yang berubah menjadi semacam dosa dari dosen-dosen pengajar ekonomi di Universitas-universitas di Indonesia adalah bahwa mereka hanya mengajarkan separo saja dari ajaran ekonom klasik Adam Smith. Konsep Smith tentang Manusia Sosial (homosocialis, tahun 1759) dilupakan atau tidak diajarkan, sedangkan ajaran berikutnya pada tahun 1776 (manusia sebagai homoeconomicus) dipuja-puji secara membabi buta. Menurut konsep terakhir manusia bersifat egois dan selfish, yang tidak pernah mau tahu kepentingan orang lain meskipun yang benar adalah sebaliknya :

Man it has been said, has a natural love for society, and desires that the union of mankind should be preserved for its own sake, and though the himself was to derive no benefit form it.
(Adam Smith, 1759 h. 9).

Dosa ke-2 dari dosen-dosen ilmu ekonomi adalah mengajarkan secara penuh metode analisis deduktif dari teori ekonomi neoklasik, padahal seharusnya disadari bahwa Alfred Marshall dan Gustave Schmoller sebelumnya, yang merupakan tokoh-tokoh teori ekonomi Neoklasik, memesankan secara sungguh-sungguh dipakainya dua metode secara serentak (deduktif dan induktif), laksana 2 kaki (kanan dan kiri) untuk berjalan.

Ajaran asli Mazhab sejarah Jerman inilah yang sesungguhnya dan seharusnya mengingatkan peristiwa pergulatan metode (metodensreit) pakar-pakar ekonomi tahun 1873-1874 dalam penggunaan model-model matematika yang kebablasan dan sekaligus mengabaikan data-data sejarah yang relevan.

Mengajarkan ilmu ekonomi matematika (matematika ekonomi) dianggap lebih gagah dibandingkan keharusan membaca data-data sejarah dalam buku-buku tebal, meskipun jelas mempelajari sejarah lebih relevan. Selain itu mengajar ekonomika secara induktif-empirik memang membutuhkan waktu dan tenaga lebih banyak, dan jika waktu sangat mendesak atau terbatas, maka mengajar dengan metode deduktif memang merupakan pilihan yang mudah.

Kita tentu berterima kasih dan bersyukur ada ilmu sosial yang bernama ilmu ekonomi yang telah berjasa membantu manusia menyusun resep-resep dan model-model yang semakin canggih untuk membangun perekonomian modern, dengan akibat standar kehidupan manusia juga semakin tinggi. Ekonomi Indonesia yang pada tahun-tahun awal kemerdekaan selama dua dasawarsa (1945-1966) merupakan perekonomian agraris yang terbelakang, kini sudah jauh lebih maju dan modern dengan standar hidup manusia rata-rata hampir 10 kali lipat.


Pertanyaannya, apakah kemajuan tersebut merupakan jasa Ilmu Ekonomi? Mungkin lebih tepat pertanyaannya diubah menjadi sejauh mana ilmu ekonomi telah menyumbang pada kemajuan tersebut. Jika jawaban atas pertanyaan ini negatif, artinya sumbangan ilmu ekonomi hanya kecil saja dibanding ilmu-ilmu eksakta seperti ilmu-ilmu teknik, pertanian, atau kesehatan, maka tidak ada masalah.

Masalah akan timbul jika ilmu ekonomi dikatakan berperan sangat besar dan menentukan dalam pembangunan nasional terutama sejak Orde Baru, dengan keterangan lebih lanjut bahwa para teknokrat ekonomilah yang telah berjasa besar, karena mereka menduduki posisi-posisi kunci dalam pemerintahan dan lembaga perencanaan ekonomi serta menjadi penetu-penentu kebijaksanaan pembangunan.

Memang tidak mungkin kita berteori seandainya pada awal Orde Baru bukan ekonom, tetapi sosiolog atau anthropolog yang lebih berperanan, apakah hasilnya akan berbeda, lebih baik atau lebih buruk. Namun jika era Orde Baru kini dianggap telah berakhir dan kini kita mengadakan reformasi dalam segala bidang termasuk reformasi ekonomi, tidak sahkah jika kita juga menggugat yang salah dalam pembangunan ekonomi, dan peranan ilmu ekonomi di dalamnya?

Lebih jauh kiranya kita berhak mempertanyakan jangan-jangan jika ilmu ekonomi jenis lain yang kita terapkan dan kita ajarkan di Indonesia sejak lahirnya fakultas-fakultas ekonomi, kondisi masyarakat (ekonomi) kita lebih baik dari sekarang. Ilmu ekonomi lain sudah ada dan berkembang di dunia termasuk di Amerika Serikat, hanya saja karena ilmu ekonomi Neoklasik memang memegang monopoli untuk diajarkan di AS dan negara Eropa Barat lain, maka ilmu ekonomi itulah yang juga diajarkan dan diterapkan di Indonesia dan negara-negara berkembang lain.

Salah satu kelemahan amat menonjol dari Ilmu Ekonomi Neoklasik adalah keengganannya untuk memasukkan faktor budaya dan masalah keadilan dalam model analisisnya. Bagi Indonesia yang berideologi Pancasila yang bertujuan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, yaitu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila, maka pembangunan ekonomi dan ilmu ekonomi yang melandasi penyusunan kebijakan-kebijakan harus mempertimbangkan faktor keadilan ekonomi dan keadilan sosial.

Dan ilmu ekonomi yang diajarkan di Fakultas-fakultas Ekonomi haruslah ilmu ekonomi kelembagaan ajaran John R. Commons yang dikembangkan di University of Wisconsin Madison tahun 1904-05.

VI . KESIMPULAN

Satu tahun menjelang pensiun, setelah 40 tahun mengajar, kami merasa bahwa sarjana-sarjana ekonomi yang kami didik dan kami hasilkan tidak terlalu berbeda dengan sarjana-sarjana ilmu sosial lain dalam keahlian dan ketrampilan memecahkan masalah-masalah sosial masyarakat. Di daerah-daerah, para sarjana ekonomi seringkali tidak menunjukkan kelebihan penguasaan cara-cara berpikir ekonomi dalam menyusun rencana-rencana pembangunan bagi pemerintah daerah dan masayarakat di daerah.

Jika berada di Bappeda, yang banyak diantaranya tidak dipimpin sarjana ekonomi, mereka, sarjana ekonomi, sering tidak menonjol berpikir tentang ekonomi. Tidak jarang sarjana-sarjana sosial non-ekonomi lebih cerdas berpikir ekonomi dan mampu mengusulkan rencana-rencana pembangunan yang rasional ketimbang sarjana ekonomi.

Kesimpulan kita adalah bahwa pengajaran ilmu ekonomi di Fakultas-fakultas Ekonomi kita kurang tajam (vigorous), kurang relevan, atau keliru. Lebih merisaukan lagi jika kemudian timbul kesan bahwa ilmu ekonomi mengajarkan bagaimana orang mencari uang, atau mengejar untung, dengan tidak mempertimbangkan akibat tindakan seseorang bagi orang lain. Ilmu ekonomi yang mengajarkan bahwa manusia adalah homo-economicus cenderung mengajarkan sikap egoisme, mementingkan diri sendiri, cuek dengan kepentingan orang lain, bahkan mengajarkan keserakahan.

Karena ilmu ekonomi mengajarkan keserakahan maka tidak mengherankan bahwa dalam kaitan konflik kepentingan ekonomi antara perusahaan-perusahaan konglomerat dan ekonomi rakyat, para sarjana ekonomi cenderung atau terang-terangan memihak konglomerat. Dan lebih gawat lagi mereka yang memihak ekonomi rakyat atau melawan konglomerat, dianggap bukan ekonom. Misalnya dalam masalah kenaikan upah minimum propinsi (UMP) tidak diragukan bahwa jika tidak mau di sebut “bukan ekonom” anda harus berpihak pada majikan /pengusaha karena pemaksaan kenaikan UMP “pasti berakibat pada meluasnya penggangguran”.

Sekiranya sebagian dosen Fakultas Ekonomi tidak sependapat dengan pandangan atau keprihatinan kami, dan tetap bersikukuh bahwa sarjana-sarjana ekonomi didikan kita sudah memenuhi “standar internasional”, yaitu penguasaan teori-teori ekonomi secara memadai, maka keprihatinan kami bergeser pada pertanyaan mengapa kita tidak berusaha keras menghasilkan sarjana ekonomi Indonesia yang benar-benar mampu memecahkan masalah-masalah ekonomi kongkrit yang dihadapi bangsa Indonesia.

Mengapa dalam upaya pemulihan ekonomi kita tim ekonomi pemerintah atau para ekonom di EKUIN atau BAPPENAS dikabarkan selalu menyatakan “tidak ada jalan lain” kecuali dengan cara berhutang lagi, atau merangsang investor-investor asing baru?

Dalam menghadapi globalisasi dan “keharusan” mengadakan privatisasi BUMN, juga makin mencolok dan makin tajam perbedaan pandangan sarjana-sarjana ekonomi Indonesia. Mayoritas sarjana-sarjana ekonomi Indonesia menganggap bahwa globalisasi tidak terelakkan dan akan “counter productive” jika kita mati-matian melawannya. Benarkah demikian?

Mengapa kini banyak buku-buku “anti globalisasi” diterbitkan, dan sejumlah tokoh ekonomi (Pemenang Nobel 2001) Joseph Stiglitz “memberontak” terhadap cara-cara IMF dan Bank Dunia membantu negara-negara miskin.

Mungkin masih tetap banyak yang tidak sependapat dengan kami bahwa dosen-dosen ekonomi di Universitas telah “berdosa” mengajarkan ilmu ekonomi secara keliru atau bahkan mengajarkan “ilmu ekonomi yang keliru”. Jika demikian, mereka tetap merasa tak bersalah, kami ingin menghimbau sarjana ekonomi lain yang jumlahnya sedikit, yang setuju dengan pandangan kami, untuk bekerja keras mengajak rekan-rekan lainnya yang belum masuk barisan untuk memperkuat barisan.

Marilah kita membuat gerakan “mengkaji ulang” relevansi teori-teori ekonomi yang sudah mapan dari Amerika ini. Ilmu ekonomi sebagai ilmu sosial harus kita “Indonesiakan” menjadi ilmu ekonomi yang bermanfaat bagi bangsa Indonesia yang sedang membangun, khususnya dalam memberdayakan ekonomi rakyat. Dan caranya, seperti sudah disinggung di atas, ilmu ekonomi di Perguruan Tinggi harus diajarkan bersama sejarah ekonomi bangsa, ilmu sosiologi, antropologi, dan etika Pancasila.

Juli 2002

Prof. Dr. Mubyarto: Guru Besar FE - UGM

Makalah untuk Seminar Hari Koperasi dan 100 Tahun Bung Hatta, Kosudgama Yogyakarta, 18 Juli 2002.
BACAAN

- James A. Caporaso & David P. Levine, 1992. Theories of Political Economy, Cambridge University Press, Cambridge.

- Paul Ekins & Manfred Max-Neef (ed). 1992, Real-Life Economics, Routledge. London-New York.

- Steve Keen, 2001. Debunking Economics, Pluto Press-Zed Books, New York.

- Daniel B. Klein (ed), 1999, What Do Economists Contribute, New York University Press, New York.

- Robert H. Nelson, 2001. Economics as Religion. Pennsylvania State University, University Park.
- Paul Ormerod, 1994. The Death of Economics, Faber & Faber, London.

Sumber foto:

http://www.anneahira.com

Minggu, 15 November 2009

PENERAPAN AJARAN EKONOMI ISLAM DI INDONESIA

[Artikel - Th. I - No. 1 - Maret 2002]

Mubyarto

PENDAHULUAN

Sejak terbitnya buku Max Weber The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism (1904-5) orang yakin adanya hubungan erat antara (ajaran-ajaran) agama dan etika kerja, atau antara penerapan ajaran agama dengan pembangunan ekonomi. Weber memang mulai dengan analis ajaran agama Protestan (dan Katolik), meskipun menjelang akhir hayatnya dibahas pula agama Cina (1915, Taoisme dan Confucianisme), India ( 1916 Hindu dan Budha), dan Yudaisme(1917).

Yang menarik, meskipun Weber merumuskan kesimpulannya setelah mempelajari secara mendalam ajaran-ajaran agama besar di dunia ini, namun berulang kali dijumpai kontradiksi-kontradiksi.

The church did influence people’s attitudes toward the economy but mostly in a negative manner because the economic mentality it furthered was essentially traditionalistic. The church like hierocracy more generally has casually encouraged a ”non-capitalistic and partly anti-capitalistic” (mentality).1)

1) Swedberg, Richard, Max Weber and The Idea of Economic Sociology. Prienceton UP, 1998, up at 112

Dalam ekonomi Islam juga etika agama kuat sekali melandasi hukum-hukumnya . Namun juga disini banyak keberhasilan ekonomi malahan didasarkan pada penyimpangan ajaran-ajarannya.

ETIKA DAN PERILAKU EKONOMI

Etika sebagai ajaran baik-buruk, benar-salah, atau ajaran tentang moral khususnya dalam perilaku dan tindakan-tindakan ekonomi, bersumber terutama dari ajaran agama. Itulah sebabnya banyak ajaran dan paham dalam ekonomi Barat menunjuk pada kitab Injil (Bible), dan etika ekonomi Yahudi banyak menunjuk pada Taurat. Demikian pula etika ekonomi Islam termuat dalam lebih dari seperlima ayat-ayat yang dimuat dalam Al-Quran. Namun jika etika agama Kristen-Protestan telah melahirkan semangat (spirit) kapitalisme, maka etika agama Islam tidak mengarah pada Kapitalisme maupun Sosialisme. Jika Kapitalisme menonjolkan sifat individualisme dari manusia, dan Sosialisme pada kolektivisme, maka Islam menekankan empat sifat sekaligus yaitu :

1. Kesatuan (unity)

2. Keseimbangan (equilibrium)

3. Kebebasan (free will)

4 .Tanggungjawab (responsibility)

Manusia sebagai wakil (kalifah)Tuhan di dunia tidak mungkin bersifat individualistik karena semua (kekayaan) yang ada di bumi adalah milik Allah semata, dan manusia adalah kepercayaannya di bumi.

SISTEM EKONOMI ISLAM

Sistem ekonomi Islam berbeda dari Kapitalisme,Sosialisme, maupun Negara Kesejahteraan (Welfare State). Berbeda dari Kapitalisme karena Islam menentang eksploitasi oleh pemilik modal terhadap buruh yang miskin, dan melarang penumpukan kekayaan. ”Kecelakaanlah bagi setiap … yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung” (104-2). Orang miskin dalam Islam tidak dihujat sebagai kelompok yang malas dan yang tidak suka menabung atau berinvestasi. Ajaran Islam yang paling nyata menjunjung tinggi upaya pemerataan untuk mewujudkan keadilan sosial, ”jangan sampai kekayaan hanya beredar dikalangan orang-orang kaya saja diantara kamu” (59:7).

Disejajarkan dengan Sosialisme, Islam berbeda dalam hal kekuasaan negara, yang dalam Sosialisme sangat kuat dan menentukan. Kebebasan perorangan yang dinilai tinggi dalam Islam jelas bertentangan dengan ajaran Sosialisme.

Akhirnya ajaran Ekonomi Kesejahteraan (Welfare State) yang berada di tengah-tengah antara Kapitalisme dan Sosialisme memang lebih dekat ke ajaran Islam. Bedanya hanyalah bahwa dalam Islam etika benar-benar dijadikan pedoman perilaku ekonomi sedangkan dalam Welfare State tidak demikian, karena etika Welfare State adalah sekuler yang tidak mengarahkan pada ”integrasi vertikal” antara aspirasi materi dan spiritual (Naqvi,h80)

Demikian dapat disimpulkan bahwa dalam Islam pemenuhan kebutuhan materiil dan spiritual benar-benar dijaga keseimbangannya, dan pengaturaan oleh negara, meskipun ada, tidak akan bersifat otoriter.

State intervention, directed primarily at reconciling the possible social conflict between man’s ethical and economic behaviors cannot lead the society onto “road to serfdom” but will guide it gently along the road to human freedom and dignity (Naqvi,1951.h81)

ETIKA BISNIS

Karena etika dijadikan pedoman dalam kegiatan ekonomi dan bisnis, maka etika bisnis menurut ajaran Islam juga dapat digali langsung dari Al Qur’an dan Hadist Nabi. Misalnya karena adanya larangan riba, maka pemilik modal selalu terlibat langsung dan bertanggung jawab terhadap jalannya perusahaan miliknya, bahkan terhadap buruh yang dipekerjakannya. Perusahaan dalam sistem ekonomi Islam adalah perusahaan keluarga bukan Perseroan Terbatas yang pemegang sahamnya dapat menyerahkan pengelolaan perusahaan begitu saja pada Direktur atau manager yang digaji. Memang dalam sistem yang demikian tidak ada perusahaan yang menjadi sangat besar, seperti di dunia kapitalis Barat, tetapi juga tidak ada perusahaan yang tiba-tiba bangkrut atau dibangkrutkan.

Etika Bisnis Islam menjunjung tinggi semangat saling percaya, kejujuran, dan keadilan, sedangkan antara pemilik perusahaan dan karyawan berkembang semangat kekeluargaan (brotherhood). Misalnya dalam perusahaan yang Islami gaji karyawan dapat diturunkan jika perusahaan benar-benar merugi dan karyawan juga mendapat bonus jika keuntungan perusahaan meningkat. Buruh muda yang masih tinggal bersama orang tua dapat dibayar lebih rendah, sedangkan yang sudah berkeluarga dan punya anak dapat dibayar lebih tinggi dibanding rekan-rekannya yang muda.2)

2) Rodney Wilson, Economics, Ethics and Religion, Macmillan, 1997. h. 211

EKONOMI PANCASILA

Sistem Ekonomi Islam yang dijiwai ajaran-ajaran agama Islam memang dapat diamati berjalan dalam masyarakat-masyarakat kecil di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Namun dalam perekonomian yang sudah mengglobal dengan persaingan terbuka, bisnis Islam sering terpaksa menerapkan praktek-praktek bisnis yang non Islami. Misalnya, perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas yang memisahkan kepemilikan dan pengelolaan, dalam proses meningkatkan modal melalui pasar modal (Bursa Efek), sering terpaksa menerima asas-asas sistem kapitalisme yang tidak Islami.

Di Indonesia, meskipun Islam merupakan agama mayoritas, sistem ekonomi Islam secara penuh sulit diterapkan, tetapi Sistem Ekonomi Pancasila yang dapat mencakup warga non Islam kiranya dapat dikembangkan. Merujuk sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, Sistem Ekonomi Pancasila menekankan pada moral Pancasila yang menjunjung tinggi asas keadilan ekonomi dan keadilan sosial seperti halnya sistem ekonomi Islam. Tujuan Sistem Ekonomi Pancasila maupun sistem ekonomi Islam adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang diwujudkan melalui dasar-dasar kemanusiaan dengan cara-cara yang nasionalistik dan demokratis.

PENUTUP

Ajaran agama Islam dalam perilaku ekonomi manusia dan bisnis Indonesia makin mendesak penerapannya bukan saja karena mayoritas bangsa Indonesia beragama Islam, tetapi karena makin jelas ajaran moral ini sangat sering tidak dipatuhi. Dengan perkataan lain penyimpangan demi penyimpangan dalam Islam jelas merupakan sumber berbagai permasalahan ekonomi nasional.

Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tentram, rezkinya datang melimpah ruah dari segenap tempat, tertapi (penduduknya) mengingkari nikmat-nikmat Allah, karena itu Allah merasakan kepada mereka kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat (An Nahl, 16:112).

Dapatkah kiranya ”perumpamaan” ini tidak dianggap sekedar perumpamaan? Jika tidak, firman Allah lain perlu dicamkan benar-benar.

Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. (Al Israa, 17:16)


Prof. Dr. Mubyarto : Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM dan Ketua Yayasan Agro Ekonomika

Makalah untuk Shariah Economics Days, Forum Studi Islam Senat Mahasiswa FE-UI, Jakarta, 19 Februari 2002

DAFTAR PUSTAKA

Lunati, M. Teresa, Ethical Issues in Economics, from Altruism to Cooperation to Equality, St. Marten’s Press, New York, 1997.

Nagvi, Syed Nawab Haider, Ethics and Economics, An Islamic Synthesis, The Islamic Foundation, London, 1981.

Swedberg, Richard, Max Weber and the Idea of Economic Sociology, Princeton UP, Princeton, 1998

Weber, Max, The Protestant Ethics and the Spirit of Capitalism, Charles Scribner’s Sons, New York, 1958

--------------, Economy and Society, University of California, 1978

--------------, General Ecoomic History, Collier Books, 1961

Wilson, Rodney, Economics, Ethics, and Religion, Macmillan, 1997.

Minggu, 01 November 2009

Arsip-arsip dari FORSALIM TV

Minggu 1.

Judul Tayangan TV FORSALIM kali ini:

ONLY LOVE CAN DEFEAT TERRORISM


INTRODUCTION

In 2001, jet planes were crashed into the World Trade Center and the Pentagon, injuring and killing thousands. In the days following these attacks-totally unexpected in their timing and method, aimed at the world's only superpower-the world began debating the concept of terrorism that lay behind them.


September 11 resulted in the deaths of thousands of people, and in injuries to many more.

An atmosphere of fear and panic grew, especially in the United States. But that didn't last long: Soon the entire world began wondering how best to combat terrorism. No longer could any country stand apart from the fight against terrorism and declare, "Those attacks weren't aimed at us." Citizens of every nation realized that the dark face of terrorism could confront them at any time, whether asleep in their beds, while watching television, taking their children to the park, or at work in the office. The terrorists' aim, they realized, was to paralyze society, making civilians reluctant to venture into the street, much less use public transport or go shopping-in short, to create a permanent climate of fear. As soon as America recovered from the shock of 9/11, it joined with a large number of other countries to launch a worldwide war on terrorism. Right from the start, however, officials of this powerful coalition declared openly that it wouldn't be enough for them to fight on the military field alone.

How should the struggle against terrorism be pursued? To answer that question, we need to identify terrorism's roots. To do so, we must examine the course of the past century, during which terrorism first emerged as a major threat.

The 20th century's two World Wars, along with many regional conflicts and various acts of local violence, made it the most bloody century ever. In addition to that, toward the end of the millennium, constant technological advances only helped terrorists widen their reach. Now, just one touch of a button could kill hundreds of innocents. High-tech terrorism could inflict billions of dollars in damage to any nation's economy and shape world politics without ever emerging into the daylight. Clearly, after the attacks on New York and Washington D. C. in the United States-the world's greatest technological power-no other country can consider itself safe from terrorism or beyond its deadly grasp. Worse still, if the necessary countermeasures aren't taken, the 21st-century terrorism will grow even more powerful, until one single chemical, biological, or even nuclear attack can slaughter tens of thousands.

THE TRUE DEFINITION OF TERRORISM

With terrorism dominating the world's agenda, the definitions of terror, terrorist, and terrorism assume a whole new importance. Many countries define terrorism, draw up terrorist profiles, and publish lists of terrorist organizations in the light of their own national interests. "Terrorist organizations" to some countries are freedom fighters to others. What one country sees as "terrorist nations," another welcomes as "loyal allies." Therefore, who defines terrorism? Who decides-and how do they decide-what a terrorist is? To establish a criterion, one can point out two distinct characteristics of terrorism:

1) Targeting civilians: Any occupied country has the right to resist an army occupying its territory. But if that resistance includes attacks on civilian targets, any justification ceases to apply, and terrorism begins. As we'll see later on in this book, this definition is entirely in accord with Islamic rules on war. The Prophet Muhammad (may God bless him and grant him peace) commanded his followers to do battle against those who declared war on them. But he also ordered them to never regard civilians as targets. On the contrary, every Muslim was ordered - and still obliged - to take great care to ensure the safety of non-combatants.

2) Destroying Peace: If no state of war exists, then terrorism can also include attacks on military or official targets. Attacks intended to break down peaceful relations between countries or communities are acts of terrorism, even when aimed at military targets.

All attacks that threaten peace, or that are aimed at civilian targets, even in a state of war, are terrorism. There can be no question of defending, approving or justifying such attacks. There can be no question of defending, approving or justifying such attacks. However, such violence is very widespread in the modern world. That's why any war on terrorism needs to be wide-ranging. Its every stage should be carefully planned, with its final aim the total eradication of the entire concept. That, in turn, requires individuals in every nation to totally distance themselves from terrorism. Every form of terrorism must be unequivocally condemned-whatever its causes or aims, no matter what its targets, where it arises, or how it is carried out. Similarly, anyone sincerely opposed to terrorism should show the same empathy for the thousands of innocent victims it has slaughtered-not only at the World Trade Center, but in attacks in Japan and Spain, in East Turkestan and Indonesia, in the massacre of more than half a million Hutus in Rwanda, in the murder of defenseless people in Palestine, Israel, and all across the globe.

Once every form of terrorism is fiercely condemned, then no longer will its perpetrators receive support from any country, or be allowed to seek shelter inside its borders. Quite literally, terrorists will have nowhere to hide.


Terrorism is currently costing lives in many countries across the world. In the fight against it, terrorism's ideological foundations must be torn down. To this end, everyone who believes in peace must pull together.


THE IDEOLOGICAL FOUNDATION OF TERRORISM

Before the war against terrorism can come to any definitive conclusion, its underlying philosophy must first be identified, along with the means to be employed. This book, therefore, deals with terrorism's basic starting point, as well as the disasters to which it leads. Its starting point is the assumption that violence is a virtue in itself and a powerful means to solve social or political problems. While killing the innocents, damaging public order, and disrupting peace, any terrorist acts under the influence of ideas that have been imposed on him, coaxing him to believe that he's engaged in a justified struggle. Terrorism can be healed only when such people understand the mistaken illogic of any ideology that inspires terrorism and incites to violence---and when they realize that going along with it can never get them anywhere. Until those ideologies' errors and contradictions are revealed, all measures taken against terrorism can be short-term only. Soon terrorism will emerge again, in different places and under different circumstances, behind a different mask.

We can put an end to terrorism only by destroying its ideological infrastructure. In later chapters, you'll see that modern terrorism's ideological foundations in fact go back to Social Darwinism and the materialist tendencies derived from it. People exposed to this indoctrination believe that life is a field of struggle, and that only the strong survive. The weak are condemned to be eliminated. Man and, in fact, the entire universe, are both products of chance. Therefore, no one is responsible for his actions to anyone else. These and similar ideas inevitably coax people into leading an animalistic form of life, where ruthlessness, aggression and violence are regarded as acceptable or even virtuous.

Anyone who resorts to terrorism, maintaining that violence is the only way to achieve his aims, is actually under the influence of Social Darwinism and materialist thought, no matter what his religion or race, or what group he belongs to. Modern terrorist groups that claim to act in the name of religion are also under Darwinism's influence and materialism, even though they claim to carry out their terroristic acts in the name of religion. This is because for anyone who lives by the morality of religion revealed by God, it's impossible to approve of violence of any kind, much less achieve a "higher" aim by murdering others. Those who resort to such methods are therefore pursuing the exact opposite of the moral values upheld by religion, carrying out their actions under the influence of materialist ideologies.

In Islam Denounces Terrorism, it was made clear that Islam fiercely rejects all forms of terrorism, no matter whom it may be directed against. In the light of verses from the Qur'an, it was explained how religion's morality calls people to peace, tolerance, and convenience. Also stressed was the dishonesty of condemning only those acts of terrorism directed against one's own side: Such an attitude only weakens the fight against terrorism; and anyone living according to Islamic morality needs to fight terror in all its all forms. The foundation of that intellectual struggle is based on revealing the true morality of religion.

Today's politicians, political commentators and academics agree that by itself, military force isn't enough to root out terrorism. This book concentrates on the only way it can be eradicated: by means of peace, tolerance, and love. All the divinely-inspired religions that God sent down by means of His messengers are helpful guides. This book offers examples from the Qur'an as well as from the Bible (even though the latter has been partially distorted) to show how each of the three divine religions forbids the use of unjust violence. It also gives examples to show that the only way to fight terrorism is to heal the root causes through the love, affection, compassion, humility, forgiveness, tolerance and concepts of justice that religion's morality instils in people--whom, following the verse from the Qur'an (10:25): "God calls to the Abode of Peace... " Such fortunates will do their utmost to build a world full of peace and love.

Minggu, 25 Oktober 2009

Tragedi Kehidupan Kita Dengan Facebook


السلام عليكم و رحمة الله و بركاته


Di tulis ulang tgl: 24-10-2009
Kang Agus H., S.T.

Tulisan ini saya dapat dari
sebuah grup FB and sebuah milis.
Semoga kita bisa merenungi isi
tulisan ini..

Selamat Membaca
Salam Cinta tuk Sahabat Semua

RAHMAT FADHIL BIN TEUNGKU HAJI SYAHBUDDIN AZIZ

============ ========= ====

Tragedi Kehidupan Kita dgn FB : Semoga Membuka Mata Hati Kita


Ketika perpecahan keluarga menjadi tontonan yang ditunggu dalam sebuah episode infotainment setiap hari. Ketika aib seseorang ditunggu-tunggu ribuan mata bahkan jutaan dalam berita-berita media massa.

Ketika seorang celebritis dengan bangga menjadikan kehamilannya di luar pernikahan yang sah sebagai ajang sensasi yang ditunggu-tunggu ...'siapa calon bapak si jabang bayi?'

Ada khabar yang lebih menghebohkan, lagi-lagi seorang celebrities yang belum resmi berpisah dengan suaminya, tanpa rasa malu berlibur, berjalan bersama pria lain, dan dengan mudahnya mengolok-olok suaminya.

Wuiih......mungkin kita bisa berkata ya wajarlah artis, kehidupannya ya seperti itu, penuh sensasi.Kalau perlu dari mulai bangun tidur sampai tidur lagi, aktivitasnya
diberitakan dan dinikmati oleh publik.

Wuiiih...... ternyata sekarang bukan hanya artis yang bisa seperti itu, sadar atau tidak, ribuan orang sekarang sedang menikmati aktivitasnya apapun diketahui orang, dikomentarin orang bahkan mohon maaf ....'dilecehkan' orang, dan herannya perasaan yang didapat adalah kesenangan.


Fenomena itu bernama facebook,

Setiap saat para facebooker meng update statusnya agar bisa dinikmati dan dikomentarin lainnya. Lupa atau sengaja hal-hal yang semestinya menjadi konsumsi internal keluarga, menjadi kebanggaan di statusnya.


Lihat saja beberapa status

facebook :

Seorang wanita menuliskan

"Hujan-hujan malam-malam sendirian, enaknya ngapain
ya.....?"--- ---kemudian puluhan komen bermunculan dari lelaki dan
perempuan, bahkan seorang lelaki temannya menuliskan "mau ditemanin?
Dijamin puas deh..."



Seorang wanita lainnya menuliskan " Bangun tidur, badan sakit semua, biasa....habis
malam jumat ya begini...:" kemudian komen2 nakal bermunculan. ..


Ada yang menulis " bete nih di rumah terus, mana misua jauh lagi....", ----kemudian komen-komen pelecehan bermunculan

Ada pula yang komen di wall temannya " eeeh ini si anu ya ...., yang dulu dekat
dengan si itu khan? Aduuh dicariin tuh sama si itu...." ----lupa klu si anu
sudah punya suami dan anak-anak yang manis

Yang laki-laki tidak kalah hebat menulis statusnya "habis minum jamu nih...., ada
yang mau menerima tantangan ?'----langsung berpuluh2 komen dating Ada yang
hanya menuliskan, "lagi bokek, kagak punya duit..."

Ada juga yang nulis " mau tidur nih, panas banget...bakal tidur pake
dalaman lagi nih" Dan ribuan status-status yang numpang beken dan pengin
ada komen-komen dari lainnya Dan itu sadar atau tidak sadar dinikmati oleh indera kita, mata
kita, telinga kita, bahkan pikiran kita.


Ada yang lebih kejam dari sekedar status facebook, dan herannya seakan hilang rasa empati dan sensitifitas dari tiap diri terhadap hal-hal yang semestinya di tutup dan tidak perlu di tampilkan. Seorang wanita dengan nada guyon mengomentarin foto yang baru sj di upload di albumnya, foto-foto saat SMA dulu setelah berolah raga memakai kaos dan celana pendek.....padahal sebagian besar yg didalam foto tersebut sudah berjilbab

Ada seorang karyawati mengupload foto temannya yang sekarang sudah berubah dari kehidupan jahiliyah menjadi kehidupan islami, foto saat dulu jahiliyah bersama teman2 prianya bergandengan dengan ceria....

Ada pula seorang pria meng upload foto seorang wanita mantan kekasihnya dulu yang sedang dalam kondisi sangat seronok padahal kini sang wanita telah berkeluarga dan hidup dengan tenang.

Rasanya hilang apa yang diajarkan seseorang yang sangat dicintai Allah...., yaitu Muhammad SAW, Rasulullah kepada umatnya.

Seseorang yang sangat menjaga kemuliaan dirinya dan keluarganya. Ingatkah ketika Rasulullah bertanya pada Aisyah r.ha
" Wahai Aisyah apa yang dapat saya makan pagi ini?" maka Istri
tercinta, sang humairah, sang pipi merah Aisyah menjawab " Rasul, kekasih
hatiku, sesungguhnya tidak ada yang dapat kita makan pagi ini". Rasul
dengan senyum teduhnya berkata "baiklah Aisyah, aku berpuasa hari
ini". Tidak perlu orang tahu bahwatidak ada makanan di rumah rasulullah.. '

Ingatlah Abdurahman bin Auf r.a mengikuti Rasulullah berhijrah dari mekah ke madinah, ketika saudaranya menawarkannya sebagian hartanya, dan sebagian rumahnya, maka abdurahman bin auf mengatakan, tunjukan saja saya pasar. Kekurangannya tidak membuat beliau kehilangan kemuliaan hidupnya. Bahwasanya kehormatan menjadi salah satu indikator keimanan seseorang, sebagaimana Rasulullah, bersabda, "Malu itu sebahagian dari iman". (Bukhari dan Muslim).

Dan fenomena di atas menjadi Tanda Besar buat kita umat Islam, hegemoni `kesenangan semu' dan dibungkus dengan `persahabatan fatamorgana' ditampilkan dengan mudahnya celoteh dan status dalam facebook yang melindas semua tata krama tentang Malu, tentang menjaga Kehormatan Diri dan keluarga.

Dan Rasulullah SAW menegaskan dengan sindiran keras kepada kita:
"Apabila kamu tidak malu maka perbuatlah apa yang kamu mau." (Bukhari).

Arogansi kesenangan semakin menjadi-jadi dengan tanpa merasa bersalah mengungkit kembali aib-aib masa lalu melalui foto-foto yang tidak bermartabat yang semestinya dibuang saja atau disimpan rapat.

Bagi mereka para wanita yang menemukan jati dirinya, dibukakan cahayanya oleh Allah sehingga saat di masa lalu jauh dari Allah kemudian ter inqilabiyah – tershibghah, tercelup dan terwarnai cahaya ilahiyah, hatinya teriris melihat masa lalunya dibuka dengan penuh senyuman, oleh orang yang mengaku sebagai teman, sebagai sahabat.

Maka jagalah kehormatan diri, jangan tampakkan lagi aib-aib masa lalu, mudah-mudahan Allah menjaga aib-aib kita.

Maka jagalah kehormatan diri kita, simpan rapat keluh kesah kita, simpan rapat aib-aib diri, jangan bebaskan `kesenangan' , `gurauan' membuat Iffah kita luntur tak berbekas.

Waallahu'alam bisshawab.. Hanya Allah Yang Maha Tahu atas segala sesuatu..


************ ********* ********* ********* ********* ********* **

Mohon kiranya untuk men-sharing artikel ini dengan orang yang Anda kasihi demi
kebaikan kita bersama. Jazakallah khairan katsiran

Sumber : FTJAI

Kamis, 15 Oktober 2009

TANTANGAN ILMU EKONOMI DALAM MENANGGULANGI KEMISKINAN

[Artikel - Ekonomi Rakyat dan Pendidikan Ilmu Ekonomi - Maret 2003]

Mubyarto

TANTANGAN ILMU EKONOMI DALAM MENANGGULANGI KEMISKINAN

Pendahuluan

Pada kunjungan 5 hari di Bangladesh, ada seorang rekan menerima SMS dari IndonesiaMasya Allah, mencari apa di Bangladesh, apakah tidak ada negara lain yang dapat dikunjungi sebagai tempat belajar selain Bangladesh yang sudah jelas merupakan International Basketplace?” Istilah International Basketplace ini dikenalkan Robet McNamara, ketika itu Presiden Bank Dunia, untuk menggambarkan contoh kemiskinan yang sangat parah. Memang benar kebanyakan orang merasa hanya dapat belajar dari masyarakat/bangsa yang sudah lebih maju, dan lebih kaya dari kita, dan bagaimana kita dapat belajar untuk menuju ke sana. Namun yang lebih benar proses kemajuan negara-negara industri maju banyak yang tidak serta merta bisa kita tiru, sedangkan dari negara-negara yang masih “dibelakang kita” kita justru dapat lebih banyak belajar untuk menghindari hal-hal dan kebijakan-kebijakan keliru yang dilakukan negara-negara yang masih terbelakang tersebut.

Bangladesh dengan penduduk 132 juta orang adalah negara berpenduduk terbesar nomor 8 di dunia. Negara yang baru 33 tahun merdeka ini (dari Pakistan 1971) dilaporkan berpendapatan perkapita US$380 dengan penduduk miskin sekitar 50% dari jumlah penduduk keseluruhan.

Bangladesh adalah “simbol kemiskinan Asia” sehingga “pakar kemiskinan” seluruh dunia merasa “belum pakar” jika belum datang atau mempelajari masalah kemiskinan negara ini. Dari berbagai masalah tentang kemiskinan di Bangladesh, microcredit atau microfinance adalah salah satu yang paling menonjol. Bangladesh dianggap sebagai negara tempat kelahiran “ilmu kredit mikro” (microcredit science) berbentuk Bank Perdesaan, atau dalam bahasa Bengali Grameen Bank, yang dirintis oleh Profesor Muhammad Yunus.[2] Grameen Bank (GB) kini menjadi simbol keberhasilan atau kunci sukses program penanggulangan kemiskinan yang selanjutnya ditiru/direplikasi di berbagai negara termasuk Indonesia.

[2] Di Indonesia, BRI, yang dalam bahasa Belanda adalah Volkscredietwezen, sudah berumur 100 tahun lebih karena didirikan di Purwokerto tahun 1897, dan BRI didirikan tahun 1901. Tetapi memang GB yang khusus untuk wanita miskin memiliki ciri-ciri sangat istimewa yang menarik untuk diterapkan di negara-negara miskin lain.

Grameen Bank

Sekitar 10 kelompok perempuan miskin, masing-masing beranggota 5 orang, ketika kita mendekati tempat pertemuan mereka, mengucapkan sumpah/janji berupa “16 keputusan” (sixteen decisions) antara lain melaksanakan KB, mendidik anak, hanya minum air putih yang dimasak atau air sumur yang sehat, dan menahan diri dari membayar atau memakai “mahar” dalam perkawinan anak-anaknya. Semua sumpah/janji ini dapat diringkas dalam 4 asas hidup Grameen Bank, yaitu disiplin, bersatu, berani, dan bekerja keras.[3]

[3] Ulreka Mueller – Glodde, 1997, Poor, but Strong: Women in the People’s Economy of Bangladesh, Grameen Trust, Dhaka.

GB yang mulai beroperasi tahun 1976, 5 tahun setelah kemerdekaan Bangladesh, menjadi bukti keprihatinan seorang Gurubesar ekonomi Prof. M. Yunus, untuk membantu mengatasi kelaparan (famine) yang luar biasa yang menelan jutaan korban meninggal di Bangladesh pada tahun 1974.

I became involved because poverty was all around me. I could not turn my eyes away from it. In 1974 I found it difficult to teach elegant theories of economics in the classroom in the backdrop of a terrible famine in Bangladesh.[4]

It did not take much time for me to resolve that any economics, which does not have an answer for poverty, and hunger in a simple straightforward way, is definitely not for me. I tried to find my own economics. I was shocked, I was thrilled as I went along. My pursuit gradually took an institutional shape, we called it Grameen Bank.[5]

[4] Muhammad Yunus, 2003, Halving Poverty by 2015: We can Actually Make It Happen, Grameen Bank.

[5] Muhammad Yunus, 1993, Alleviation of Poverty is a Matter of Will, not a Means.

Ilmu Ekonomi dan Kelaparan

Meskipun kemiskinan penduduk Bangladesh sesudah “pembebasan dari penjajahan” Pakistan mengerikan, namun kelaparan besar-besaran (famine) yang terjadi tahun 1974 itulah yang secara kejiwaan mengejutkan seorang Muhammad Yunus yang sebagai Doktor ekonomi muda tamatan Unversitas di Amerika (Vanderbilt) sangat kecewa tidak dapat menggunakan ilmu ekonominya untuk ikut memikirkan cara-cara mengatasinya.

Most important step to end poverty is to create employment and income opportunity for the poor. But orthodox economics recognized only wage employment. It has no room for self-employment. But self-employment is the quickest and easiest ways to create employment for the poor. (Yunus, 2003: 8)

They did not have to learn economic theories and end up with a mindset that the only way they can make a living is to find a job in the job market. If you don’t get a job march on the street! In the third world countries even if you march on the street there is no job for you. As a result the poor go out and create their own jobs. Since economics text-books do not recognize them, there is no supportive institution and policies to help them. (Yunus, 2003: 9)

Demikian kiranya jelas dari berbagai pemikiran Muhammad Yunus dalam mengembangkan GB bahwa teori ekonomi (Neoklasik) tentang kemiskinan dan pengangguran tidak cocok, atau lebih tegas keliru dan menyesatkan, jika dijadikan dasar pengambilan kebijakan. Kemiskinan dan pengangguran bukan merupakan kesalahan dan dosa si miskin. Mereka telah menjadi korban sistem ekonomi kapitalistik-liberal yang menempatkan pemilik modal atau kapitalis selalu sebagai pencipta lapangan kerja dan pemberi pekerjaan, sedangkan orang-orang miskin selalu berkedudukan sebagai “peminta” atau “pengemis” pekerjaan. Ini semua merupakan teori ekonomi yang keliru jika diterapkan di negara-negara berkembang.

Economic theory in its simplification visualises people as providers of labor. They are born to take orders from a small group of very special kind of people known as “entrepreneurs”. These special people are the only people who can think, organise, and act. All other people simply fill in the work slots created by the thinking and driving people. (Yunus 2003: 10)

Kiranya tidak diragukan lagi bahwa jika kita di Indonesia bertekad memberantas kemiskinan dan “pengangguran”, kata “pengangguran” harus diberi tanda kutip karena “pengangguran” kita sangat berbeda dengan konsep pengangguran di buku-buku teks, kita harus tinggalkan semua konsep-konsep Barat dan diganti dengan konsep-konsep kita sendiri.

It will be an uphill task to end poverty in this world unless we create new economic thinking and get rid of the biases in our concept, institutions, policies, and above all, our mindset created by the existing orthodoxy. Unless we change our mindset, we can not change our world (Yunus 2003 : 11)

Perubahan mindset (cara pandang/kerangka berpikir/paradigma) yang kini sangat diperlukan bagi pemecahan masalah-masalah sosial-ekonomi bangsa Indonesia merupakan kebutuhan mutlak dewasa ini, dan ini harus dipimpin oleh para ekonom sosial, yaitu ekonom yang telah mengaku dosa atas pemikiran-pemikiran, perilaku, dan tindakan-tindakan “keblinger” di masa lalu yang semata-mata bersumber pada pemikiran-pemikiran ekonomi Neoklasik Barat. Pemikiran-pemikiran ekonomi baru yang kami sebut dengan nama Ekonomi Pancasila adalah ekonomi pasar yang Pancasilais, yang bermoral Ketuhanan Yang Maha Esa, bermoral kemanusiaan yang adil dan beradab, bermoral nasionalisme/kebangsaan, bermoral kerakyatan, dan semuanya diarahkan pada upaya-upaya serius menuju terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Entrepreneur (Pengusaha) Pancasilais

Prof Muhammad Yunus secara eksplisit menunjuk pada kekeliruan menganggap pengusaha (entrepreneur) yang bermodal sebagai “kunci” kemajuan ekonomi suatu bangsa, yang tanpa cacat, dan harus “dipuja-puja”. Itulah yang kebetulan termuat juga dalam buku-buku pelajaran ekonomi di sekolah-sekolah lanjutan kita. Misalnya dengan sangat mencolok disebutkan bahwa pengusaha berperan dalam :

(1.) menambah produksi nasional

(2.) menciptakan kesempatan kerja

(3.) membantu pemerintah mengurangi pengangguran

(4.) membantu pemerintah dalam pemerataan pembangunan

(5.) menambah sumber devisa bagi pemerintah

(6.) menambah sumber pendapatan negara dengan membayar pajak

(7.) membantu pemerintah memakmurkan bangsa[6]

[6] Mubyarto, (2002), Ekonomi Pancasila, BPFE, h.71

Bahwa pengusaha atau entrepreneur selalu hanya “menambah produksi dan pendapatan negara”, serta “membantu” pemerintah, sungguh tidak sesuai dengan kenyataan kehidupan ekonomi bangsa Indonesia, lebih-lebih menjelang dan ketika terjadi krismon 1997/98. Bahkan sejak waktu itu pengusaha konglomerat menunjukkan keserakahan luar biasa dengan merugikan rakyat banyak, dan pemerintah tidak berdaya bersikap keras menghukum kejahatan-kejahatan mereka. Malahan sebaliknya pemerintah memihak mereka dengan memberikan BLBI Rp 140 trilyun untuk membantu mereka dan selanjutnya berutang kepada “masyarakat” sebesar Rp 650 trilyun untuk “menyelamatkan” mereka dari kehancuran. Alangkah sulit guru-guru ekonomi sekolah lanjutan kita dalam menerangkan “kontradiksi-kontradiksi” yang demikian kepada murid-murid. Apa yang tertulis dalam buku-buku pelajaran ekonomi sekolah lanjutan kita sungguh-sungguh bertentangan dengan kenyataan. Untuk “meluruskan” ajaran ilmu ekonomi yang menyesatkan ini Muhammad Yunus memperkenalkan konsep “social entrepreneur”.

If economics could envisage two types of entrepreneurs, personal driven and social-objective driven, it would not only be more realistic but it would have helped the world solve many of the problems that profit-driven market doesn’t solve today (Yunus 2003 : 12)

Social-objective driven investors will need to separate (social) stock market, separate rating agencies, separate financial institutions, social mutual funds, and social venture capital, etc. Almost everything that we have for profit driven entrepreneur will be needed for sicial-objective driven enterprises, such as audit firms, due diligence and impact assesment methodologis, etc. Only in a different context, and with different methodologies. (Yunus, 2003: 4)

Anybody who is offering his/her time and energy to addres any social or economic problem of a group or communities is a social entrepreneur. (Yunus, 2003 : 16)

Jika kekeliruan kita yang selalu memuja-muja pengusaha atau investor ini kita koreksi dengan memperkenalkan pengusaha sosial (social entrepreneur), maka kita dapat berharap kemiskinan dapat diatasi melalui berbagai kebijakan yang memihak pada si miskin.

We cannot cope with the problems of poverty within the orthodoxy of capitalism preached and practised today.

With the failure of many third world governments in running businesses, health, education, and welfare programmes efficiently, everyone is quick to recommend – “hand it out to the private sector”... Which private sector are we talking about?

Personal private sector has its own agenda. It comes in serious conflict with the pro-poor, pro-women, pro-environment agenda! Economic theory has not provided us wth any alternative to this familiar private sector. I argue that we can create a powerfull alternative – a social conciousness-driven private sector created by social entrepreneurs (Yunus, 2003 : 16)

Social entrepreneur must be supported and encoureged to get involved in the process of globalization to make it friendly to the poor. Special privileges should be offered to them to let them scale up and multiply (Yunus, 2003 : 21)

Ajaran Ilmu Ekonomi yang Menyesatkan

John Bresnan, Senior Research Scholar di Universitas Columbia (AS), yang pernah menjadi kepala perwakilan Ford Foundation di Jakarta dalam bukunya “Managing Indonesia” (Columbia University Press, 1993), menyediakan satu bab khusus tentang peranan dan jasa besar teknokrat ekonomi Indonesia dalam membawa kesejahteraan pada rakyat Indonesia. Bangsa Indonesia sebelumnya dikenal telah “menyia-nyiakan” setiap peluang membangun ekonomi selama 20 tahun kemerdekaan (1945-1965). Mengapa teknokrat ekonomi disanjung di luar negeri terutama di Amerika? Sebabnya, mereka sebagian besar belajar di sana, pada awalnya di dua universitas “terbaik” di Amerika yaitu University of California-Berkeley dan University of Wisconsin-Madison. Setelah selesai belajar di Amerika mereka membawa pulang mazab ekonomi Amerika, yang mereka percaya penuh seluruhnya dapat diterapkan di Indonesia. Dan memang benar pertumbuhan ekonomi yang mendekati “keajaiban” (miracle) berlangsung selama 3 dekade hampir tanpa henti, yang mampu menaikkan pendapatan per kapita dari di bawah US$ 100 menjadi diatas US$ 1000. Maka pada tahun 1996 Indonesia dinobatkan sebagai “The Emerging Giant of South-East Asia”. Pemerintah Orde Baru sangat bangga dengan jasa-jasa para teknokrat, dan Fakultas-fakultas Ekonomi di seluruh Indonesia menjadi fakultas favorit.

Sayangnya “cerita sukses” ekonomi Indonesia ini tidak pernah diterima secara kritis, dengan mengenali kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahannya. Yang paling serius dari kekurangan dan kelemahan itu adalah tidak pernah dipertanyakan apakah hasil-hasil pembangunan ekonomi telah dinikmati secara merata dan adil bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana diidam-idamkan dalam Pancasila dasar negara. Fakultas Ekonomi UGM berturut-turut pada tahun 1980 dan 1981 mengadakan seminar nasional tentang Ekonomi Pancasila, yang maksudnya mengingatkan bangsa Indonesia tentang kekeliruan mazab ekonomi yang hanya mengajarkan pertumbuhan ekonomi tanpa memikirkan pembagiannya. Pikiran kritis dari pakar-pakar ekonomi UGM ini, yang sebagian besar juga belajar ilmu ekonomi di AS, mendapat sambutan positif dan hangat dari masyarakat Indonesia, tetapi disambut dingin bahkan dicibirkan oleh pakar-pakar ekonomi FE-UI, yang sebagian besar tokoh-tokohnya memang menjadi “otak” pemikiran ekonomi pemerintah Orde Baru. Pakar-pakar ekonomi UGM, yang waktu itu sangat kompak mendukung penuh konsep Ekonomi Pancasila ini, akhirnya tercerai-berai setelah Pidato Kenegaraan Presiden RI 16 Agustus 1981, yang menuduh para ekonom UGM “mencari-cari”, atau pemikiran-pemikiran ekonominya dianggap “ngawur”.

Kini hampir 25 tahun kemudian, mata seluruh rakyat Indonesia kembali diarahkan ke UGM dengan harapan sisa-sisa idealisme para pakar ekonominya masih dapat diandalkan untuk mengoreksi secara total kekeliruan pemikiran para teknokrat ekonomi Orde Baru yang telah menghasilkan krisis keuangan berkepanjangan sejak 1997. Meskipun secara keseluruhan pemikiran kapitalistik-liberal teknokrat ekonomi telah ditolak oleh para pembaharu (reformis), namun hampir semua pakar ekonomi yang “menguasai” Fakultas-Fakultas Ekonomi Negeri maupun Swasta di seluruh Indonesia adalah pakar-pakar kapitalis liberal yang sangat mengandalkan pada kekuatan pasar bebas. Begitu bertekuk lutut mereka pada pasar global sampai-sampai mereka selalu menyerah dengan menyatakan “if we cannot beat them, join them!”.

Menelusuri kembali asal-muasal pemikiran ekonomi yang “keblinger” ini, apa yang ditulis John Bresnan dalam buku yang disebutkan di atas, dapat memberikan sekedar keterangan,

Indeed, the economists’ political ideas were poorly developed....

Political issues properly speaking, seemed not to have a place in their thinking at all....

The economists also did not share the Indonesian nationalists’ discomfort with foreign aid or foreign investment....

The young Indonesian economists had, as this suggests, considerable confidence that mainstream Western economic thingking could be applied to Indonesia. Their years at Berkeley and other (largely) American Universities also gave them great confidence in their profesional ability to set the nation on the path to economic growth; this alone tended to set them apart from others, to bind them closely together as a kind of secular brotherhood, earning them the sobriquet “Berkeley Mafia”. (Bresnan, 1993: 82-83)

Pada tahun 2002 bersama seorang rekan “ekonom pertanian” dari Universitas Wisconsin, Daniel W Bromley, kami mencoba meyakinkan rekan-rekan ekonom Indonesia untuk “mengaku dosa”, dan selanjutnya “kembali ke jalan yang benar”, mengibarkan bendera Ekonomi Pancasila seperti yang telah kita kibarkan 25 tahun lalu. Upaya besar ini rupanya tidak akan mudah mencapai hasil karena buku kami tersebut “hampir tidak ada yang membaca”. Bahkan seorang Guru Besar Muda yang baru-baru ini menyampaikan pidato pengukuhan, yang menyerang teori ekonomi Neoklasik, tidak merasa perlu menunjuk perjuangan FE-UGM 25 tahun yang lalu, yang memberikan kritik yang persis sama terhadap (ajaran) teori ekonomi Neoklasik, dan yang ingin mewujudkan Ekonomi Pancasila.

Patutkah kita berputus asa? Tidak, sekali lagi Tidak. Yang kita pertaruhkan adalah 210 juta bangsa Indonesia yang hampir 40 juta diantaranya kini, setelah 58 tahun merdeka, masih hidup dalam serba kemiskinan. Dosa kita para pakar ekonomi akan lebih besar lagi jika kita menyerah. Mereka yang masih percaya pada kebenaran pemikiran dan jasa besar Sukarno-Hatta proklamator Republik Indonesia, perlu terus melanjutkan perjuangan mewujudkan cita-cita Pancasila dalam praktik hidup bangsa sekarang ini.

Jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Pancasila yang saya usulkan itu menjadi satu realiteit, ... janganlah lupa akan syarat untuk menyelenggarakannya ialah perjuangan, perjuangan, sekali lagi perjuangan. Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara Indonesia Merdeka itu perjuangan kita telah berakhir. Tidak! Bahkan saya berkata: Di dalam Indonesia merdeka itu perjuangan kita harus berjalan terus, hanya lain sifatnya dengan perjuangan sekarang, lain coraknya. Nanti kita bersama-sama sebagai bangsa yang bersatu padu, berjuang terus menyelenggarkan apa yang kita cita-citakan di dalam Pancasila (Soekarno, 1 Juni 1945).

Kita manusia itu sifatnya lupa ... dengan Pancasila itu diingatkan kita bahwa ada Pancasila. Kalau sekali-sekali kita berbuat salah, diingatkan kita, sehingga kita harus kembali ke jalan yang lurus. Itulah gunanya Pancasila itu. Bukan sekedar untuk dihapalkan di bibir saja. Hapalkan, jalankan dengan bukti. (M. Hatta, 1980)

Ilmu ekonomi yang kita ajarkan kepada mahasiswa kita sekarang yang sudah kita ajarkan sejak medio lima puluhan adalah ilmu ekonomi yang keliru dan tak bermoral, yang tidak memihak pada rakyat miskin kita. Adalah panggilan sosial dan panggilan moral kita pakar-pakar ekonomi untuk berubah, dan mengoreksi diri menjadi pejuang-pejuang yang harus mampu bekerja keras mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tujuan akhir ideologi dan dasar NKRI yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.

Penutup

Krisis moneter (krismon) yang setelah hampir 7 tahun belum juga terselesaikan harus memaksa pakar-pakar ekonomi Indonesia berpikir keras “tidakkah ada yang salah dalam pemikiran ekonomi para teknokrat kita, yang pada awal Orde Baru telah menjadi pahlawan-pahlawan pembangunan ekonomi Indonesia?”

Salah satu kekeliruan fatal adalah kelalaian telah mengabaikan ideologi Pancasila, khususnya nasionalisme. Jika mereka menganut ajaran ekonomi Barat secara konsekuen bahwa “the very nature of economics is rooted in nationalism”, kiranya cukup aneh mereka dengan sadar mengabaikannya.

In the mids of all the confusion, there is one solid unchanging lump of ideology that we take so much for granted that it is rarely noticed –that is nationalism.

The hard-headed classicals made no bone about it. They were arguing against the narrow nationalism of Mercantilists in favour of a more far-sighted policy, but they were in favor of Free Trade because it was good for Great Britain, not because it was good for the world (Joan Robinson, 1993: 167).

Ilmu ekonomi yang kita ajarkan kepada mahasiswa kita (bahkan sejak di sekolah-sekolah lanjutan) harus yang nasionalistik, bermoral, dan berasas kerakyatan, dan harus mampu mengarahkan pemikiran ekonomi anak-anak muda kita pada upaya-upaya mewujudkan keadilan sosial. Kemiskinan adalah salah satu bentuk ketidakadilan sosial yang harus kita berantas sampai ke akar-akarnya.

Adalah dosa besar dan merupakan pengkhianatan pada para pendiri negara jika kita para ekonom sekedar menjadi jurubicara dan penyebar ajaran-ajaran sesat ekonomi kapitalis-neoliberal.

Economics typically are mouthpieces of capitalism and since the capitalists are not yet seriously interested in reforming their economic system and way of life in rational, ecological directions –which would also bring social and economic justice– the economists are not interested in reforming their theory. (O’connor dalam Ravaioli 1995: 128)

Traditional economics has many faults, in particular its lack of interest in the unequal distribution between rich and poor, and its kidding itself it can solve social injustices through the market (Martinez-Alien dalam Ravaioli, 1995: 129)

Economics should be the science of the whole sociey, in all its manifestations and fields of action (Georgesc-Roegen dalam Ravaioli, 1995: 128)

2 Maret 2004

Grameen Bank : Sixteen Decisions

1. The four principles of Grameen Bank-discipline, unity, courage, and hard work –we shall follow and advance in all walks of our lives.

2. We shall bring prosperity to our families.

3. We shall not live in dilapidated house. We shall repair houses and work towards constructing new houses as soon as possible.

4. We shall grow vegetables all the year round. We shall eat plenty of them and sell the surplus.

5. During the planting seasons, we shall plant as many seedlings as possible

6. We shall plan to keep our families small. We shall minimize our expenditures. We shall look after our health.

7. We shall educate our children and ensure that they can earn enough to pay for their education.

8. We shall always keep our children and the environment clean.

9. We shall build and use pit latrines.

10. We shall boil water before drinking or use alum to purify it. We shall use pitcher filter to remove arsenic.

11. We shall not take any dowry in our sons’ weddings; neither shall we give any dowry in our daughter weddings. We shall keep the center free from the curse of dowry. We shall not practice child marriage.

12. We shall not inflict any injustice on anyone; neither shall we allow anyone to do so

13. For higher income we shall collectively undertake bigger investments

14. We shall always be ready to help each other. If anyone is in difficulty, we shall all help.

15. If we come to know of any branch of discipline in any center, we shall all go there and help restore discipline.

16. We shall take part in all social activities collectively.


Oleh: Prof. Dr. Mubyarto -- Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila (PUSTEP) UGM.

[1] Laporan perjalanan dalam rangka menghadiri Asia-Pacific Region Microcredit Summit Meeting of Councils (APRMS), Dhaka, 16-19 Februari 2004.

Daftar Pustaka

Bresnan, John, 1993, Managing Indonesia: The Modern Political Economy, Columbia University Press, New York.

Etzioni, Amitai, 1988, The Moral Dimension: Toward A New Economics, MacMillan Inc., London.

Mubyarto, 1982, Moral Ekonomi Pancasila, Yayasan Idayu, Jakarta.

_________, Daniel W. Bromley, 2002, A Development Alternative for Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

_________, 2003, Globalisasi, Agama, dan Ekonomika Etik, Pidato Milad ke-43 Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta.

_________, 2003, Tanggung Jawab Sosial Teknokrat dalam Mewujudkan Ekonomi Pancasila, Pidato Dies Natalis XVII Universitas Wangsa Manggala, Yogyakarta.

_________, 2003, Menuju Sistem Ekonomi Pancasila: Reformasi atau Revolusi, Makalah Seminar “Meluruskan Jalan Reformasi”, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

_________, 2003, Ekonomi Pancasila: Renungan Satu Tahun PUSTEP-UGM, Aditya Media, Yogyakarta.

_________, 2004, Pendidikan Ekonomi Kita, Aditya Media, Yogyakarta.

Nelson, Robert H., 2001, Economics as Religion, Pennsylvania State University Press, Pennsylvania.

Ravaioli, Carla, 1995, Economists and The Environment: What the Top Economists Say About The Environment, Zed Books, London & New Jersey.

Swasono, Sri-Edi, 2003, Ekspose Ekonomika: Globalisme dan Kompetensi Sarjana Ekonomi, PUSTEP-UGM, Yogyakarta.

Yunus, Muhammad, 1993, Alleviation of Poverty is a Matter of Will, not of Means, Packages Corporation Limited, Cittagong, Bangladesh.

_________, 2002, Grameen Bank II: Designed to Open New Possibilities, Packages Corporation Limited, Cittagong, Bangladesh.

_________, 2003, Halving Poverty by 2015: We Can Actually Make It Happen, Packages Corporation Limited, Cittagong, Bangladesh.

_________, 2003, Some Suggestions on Legal Framework for Creating Microcredit Banks, Packages Corporation Limited, Cittagong, Bangladesh.

_________, 2003, Expanding Microcredit Outreach to Reach the Millennium Development Goal –Some Issues for Attention, Packages Corporation Limited, Cittagong, Bangladesh.

_________, 2004, Grameen Bank at A Glance, Packages Corporation Limited, Cittagong, Bangladesh.