Rabu, 07 Maret 2012

Memberdayakan Umat Muslim Part II

"IQRO"


Oleh: Prof. Azyumardi Azra, Ph.D.


Penyebab utama ketidak berdayaan itu disimpulkan adalah keterbelakangan pendidikan.



Karena itu, tidak ada hal lain kecuali peningkatan mutu pendidikan mesti menjadi prioritas utama pemerintah dan masyarakat Muslim sendiri. Seorang penulis milis MF menyatakan, kenyataan ini adalah



“ironi karena lima ayat surah al-‘Alaq yang pertama kali diterima Rasulullah SAW yang didahului perintah ‘Iqra’ tidak berdampak luas dalam kehidupan [umat] Islam”.



Menyangkut akselerasi pendidikan dan pengembangan iptek, adalah keniscayaan bagi kaum Muslim mengembangkan keterbukaan pada sumber iptek dari mana pun. Ini berarti meniscayakan pula penghilangan sikap apologetik, defensif, dan reaktif dari sebagian Muslim yang masih sangat mencurigai segala macam iptek yang bersumber, misalnya, dari Barat.



Kalangan Muslim seperti ini seolah melupakan sejarah kemajuan iptek di tangan ilmuwan Muslim di masa klasik yang bersumber dari sikap keterbukaan menerima dan mengkaji berbagai sumber iptek untuk kemudian mereka kembangkan menjadi iptek universal yang bermanfaat bagi peningkatan kualitas kehidupan kemanusiaan.



Dalam kaitan itu, kaum Muslim patut mengembalikan rasa percaya diri. Karena sering ada kecurigaan berlebihan bersumber dari kekhawatiran dan ketakutan berlebihan, akhirnya menimbulkan mentalitas tertutup dan bahkan ‘mentalitas terkepung’.



Akan tetapi, ketidakberdayaan kaum Muslimin tidak hanya terutama bersumber dari keterbelakangan pendidikan. Ketidakberdayaan itu juga terkait dengan berbagai realitas lain Dunia Islam, ter utama dalam bidang politik, sosial, bu daya, dan bahkan pemahaman keagamaan.



Karenanya, usaha mengatasi ketidakberdayaan kaum Muslimin mesti juga melibatkan pembenahan dan perbaikan ke adaan sehingga dapat memberikan kondisi kondusif bagi pemberdayaan dan pemajuan kaum Muslimin dalam berbagai bidang.



Ketidakberdayaan kaum Muslimin sangat terkait dengan kondisi politik yang kacau di banyak bagian Dunia Muslim sejak masa kolonialisme Eropa sampai sekarang.



Kekacauan politik itu dalam batas tertentu berhubungan dengan ketidakadilan tatanan politik internasional, seperti terlihat di Timur Tengah menyangkut konflik Palestina-Israel, dan pendudukan sekutu yang terus berlanjut di Irak dan Afghanistan.



Tetapi jelas, kekacauan politik terutama bersumber dari kegagalan banyak negara Muslim membangun sistem politik yang viabel—mampu bertahan karena dapat diterima masyarakatnya sendiri sebab demokratis, misalnya. Namun, yang terjadi di banyak negara Muslim, realitas politik adalah otoritarianisme militer dan sipil yang berkuasa sangat lama, amat korup, yang hampir tidak memberikan ruang bagi warga negara bersuara.



Indonesia pernah memiliki pengalaman seperti ini di masa Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto sebelum kemudian tumbang lewat peristiwa yang melibatkan kekuatan rakyat dan pertumpahan darah.



Di banyak negara Muslim lain, situasi politik kacau masih terus berlanjut sampai kini. Meski kekuasaan otoritarianisme Ben Ali (Tunisia) dan Husni Mubarak (Mesir) telah ditumbangkan kekuatan rakyat, pergulatan politik masih berlangsung. Bahkan, pertumpahan darah terus terjadi di Syria dan Yaman, yang bukan tidak mungkin menular ke negara-negara Muslim otoriter lain di Dunia Arab.



Instabilitas politik dan kekerasan berdarah juga terus terjadi di Afghanistan, Irak, dan Pakistan. Bahkan, Malaysia yang bagi sebagian orang menjadi ‘model’ stabilitas politik dan kemajuan ekonomi, juga menerapkan politik totaliter represif seperti terlihat dalam demonstrasi menuntut Pilihan Raya yang bersih dan jujur.



Kekacauan politik di negara-negara Muslim ini, terutama disebabkan—meminjam istilah Buya Syafii Maarif—‘syahwat politik’ yang nyaris tidak terkendali, baik pa da level kepemimpinan puncak maupun elite politik lain.



Ketika beberapa negara Muslim menjadi demokrasi, seperti Indonesia, syahwat politik itu menghinggapi hampir seluruh elite politik di tingkat nasional maupun lokal. Lebih celaka lagi, syahwat politik itu bercampur dengan ‘syahwat ekonomi’ yang juga tidak terkendali sehingga menimbulkan wabah korupsi.



Dalam situasi politik dan ekonomi koruptif seperti itu, bagaimana mungkin kaum Muslimin bisa berdaya?



Sumber daya alam, seperti minyak, gas, dan banyak barang tambang lain tidak diabdikan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat, tetapi sebaliknya guna kepentingan poli tik rezim berkuasa. Lebih parah lagi, situasi kacau—ketiadaan stabilitas politik dan ekonomi koruptif—membuka ruang besar bagi infiltrasi dan penetrasi kekuatan asing yang membuat keadaan kian kacau.



Karena itu, dalam konteks pemberdayaan Muslimin, agenda paling pokok adalah membenahi rumah tangga sendiri, membangun sistem politik demokratis yang viabel dan ekonomi yang bersih dari korupsi, serta pembangunan yang berpihak kepada pemberdayaan warga.



*Penulis adalah Direktur Sekolah Pascsarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta




UMAT Islam adalah khoiru ummah, umat terbaik yang menjadi teladan bagi umat manusia dalam menjalani kehidupan ini dengan benar. Mereka beriman kepada Allah SWT. Keimanannya ditunjukkan antara lain dengan perilaku senantiasa berbuat baik dan mengajak orang lain dalam kebaikan, serta menghindari kemunkaran dan mencegah adanya kejahatan.



“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. ”(Ali Imran / 3 : 110)

Tidak ada komentar: