Kamis, 18 Juni 2009

ETIKA, AGAMA, DAN SISTEM EKONOMI

[Artikel - Th. I - No. 2 - April 2002]

Mubyarto

ETIKA, AGAMA, DAN SISTEM EKONOMI

I. ETIKA

Jika ilmu ekonomi modern cenderung memisahkan ajaran efisiensi dari ajaran etika yaitu ajaran benar-salah, atau ajaran adil-tidak adil, maka ekonomika etik(ethical economics) memaksakan penyatuan keduanya sebagaimana diteliti mendalam oleh Max Weber.

By economic ethic he meant, as he did in his first study (The Protestant Ethic), not ethical and theological theories but the practical impulses toward action that derive from religion.1)

1) Swedberg.R, Max Weber and the Idea of Economic Sociology, p. 134

Teresa Lunati dalam buku Ethical Issues in Economics (Macmillan, 1997) secara lugas membedakan economic man vs ethical man, Neoclassical firms vs ethical firms, dan Neoclassical markets vs ethical markets sebagai berikut: 2)

2) M Teresa Lunati, Ethical Issues in Economics. pp. 139 - 143

Moral values and norms such as altruism, cooperation, solidarity, trust, honesty, truth – telling, obligation, duty, commitment, fairness, equality, are the main values of ethical man, of ethical firms, and ethical markets.

Kaitan erat antara etika dan sistem ekonomi menjadi makin jelas terlihat melalui peranan idiologi, untuk memberi dan sebagai pembenaran (justification) dari sistem ekonomi yang diterapkan.

The pre-reguisites for an economic system is a set of rules, an idelogy to justify them, and a conscience in individual which makes him strife to carry them out. 3)

3) Joan Robinson, Economic Philosopy 1962 op. cit. hal 13; Mubyarto, Amandemen Konstitusi dan Pergulatan Pakar Ekonomi, Aditya Media, 2001, h. 35

Di Indonesia jika Pancasila kita terima sebagai ideologi bangsa maka sistem ekonomi nasional tentu mengacu pada Pancasila, baik secara utuh (gotong royong, kekeluargaan) maupun mengacu pada setiap Silanya:

  1. Ke-Tuhanan Yang Maha Esa: Perilaku setiap warga Negara digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan moral;

  2. Kemanusiaan yang adil dan beradab: Ada tekad seluruh bangsa untuk mewujudkan kemerataan nasional;

  3. Persatuan Indonesia: Nasionalisme ekonomi;

  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan: Demokrasi Ekonomi;dan

  5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia: Desentralisasi dan Otonomi Daerah.

Economic Ethic is “The practical impulses for (economic) action which are founded in the psychological and pragmatic contexts of religion.” 4)

4) Sivedberg R, idem hal 134

Kemampuan Ilmu Ekonomi Neoklasik ala Paul Samuelson menguasai pemikiran ekonomi dunia adalah karena penyebarannya menggunakan metode-metode agama.

Samuelson migt be judged a large scientific failure and a great religious and economic success.5)

Beneath the surface of their economic theorizing, economist are engaged in an act of religious messages. Correctly understood these messages are seem to be promises of the true path to a salvation in this world to a new heaven on earth. 6)

5) Robert H. Nelson, Economics as Religion. Pensylvania, UP. 2001 op. cit h
6) Robert H. Nelson, Economics as Religion. Pensylvania, UP. 2001 op. cit hal 20

Pada masa orde Baru, Pancasila pernah hampir menyaingi agama d.h.i agama Islam, sehingga TAP tentang P4 tahun 1978 diprotes oleh sejumlah partai-partai Islam. Namun pada akhir orde baru terbukti ”Sistem Ekonomi Pancasila” gagal diterima dan masyarakat malah berbalik merasa ”alergi” menggunakan istilah Pancasila sebagai acuan sistem ekonomi, dan acuan itu digeserkan ke Sistem Ekonomi Kerakyatan.

II. AGAMA

Buku Max Weber The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism (1904-5) menggambarkan hubungan erat antara (ajaran-ajaran) agama dan etika kerja, atau antara penerapan ajaran agama dengan pembangunan ekonomi. Weber mulai dengan analisis ajaran agama Kristen Protestan, dan menjelang akhir hayatnya dibahas pula (sosiologi) agama Cina (1915, Taoisme dan Confucianisme), India (1916, Hindu dan Budha), dan Yudaisme (1917).

Yang menarik, meskipun Weber merumuskan kesimpulannya setelah mempelajari secara mendalam ajaran-ajaran agama besar di dunia ini, namun berulang kali dijumpai kontradiksi-kontradiksi.

The church did influence people’s attitudes toward the economy but mostly in a negative manner because the economic mentality it furthered was essentially traditionalistic. The church like hierocracy more generally has casually encouraged a ”non-capitalistic and partly anti-capitalistic” (mentality) 7)

7) Swedberg, Richard, Max Weber and The Idea of Economic Sociology. Prienceton UP, 1998, up at 112

Dalam ekonomi Islam etika agama kuat sekali melandasi hukum-hukumnya. Namun juga disini banyak keberhasilan ekonomi malahan didasarkan pada penyimpangan ajaran-ajarannya. Maka terkuaklah ”rahasia” kontradiksi. Kapitalisme berhasil di kalangan umat Kristen karena perintah-perintah agama dikesampingkan, dan sebaliknya umat Islam miskin karena banyak firman Allah ditinggalkan.

Etika dan Perilaku Ekonomi. Etika sebagai ajaran baik-buruk, benar-salah, atau ajaran tentang moral khususnya dalam perilaku dan tindakan-tindakan ekonomi, bersumber terutama dari ajaran agama. Itulah sebabnya banyak ajaran dan paham dalam ekonomi Barat menunjuk pada kitab Injil (Bible), dan etika ekonomi Yahudi banyak menunjuk pada Taurat. Demikian pula etika ekonomi Islam termuat dalam lebih dari seperlima ayat-ayat yang dimuat dalam Al-Quran. Namun jika etika agama Kristen-Protestan telah melahirkan semangat (spirit) kapitalisme, maka etika agama Islam tidak mengarah pada Kapitalisme maupun Sosialisme. Jika Kapitalisme menonjolkan sifat individualisme dari manusia, dan Sosialisme pada kolektivisme, maka Islam menekankan empat sifat sekaligus yaitu:

  1. Kesatuan (unity)

  2. Keseimbangan (equilibrium)

  3. Kebebasan (free will)

  4. Tanggungjawab (responsibility)

Manusia sebagai wakil (kalifah)Tuhan di dunia tidak mungkin bersifat individualistik karena semua (kekayaan) yang ada di bumi adalah milik Allah semata, dan manusia adalah kepercayaannya di bumi.

Sistem Ekonomi Islam. Sistem ekonomi Islam berbeda dari Kapitalisme,Sosialisme, maupun Negara Kesejahteraan (Welfare State). Berbeda dari Kapitalisme karena Islam menentang eksploitasi oleh pemilik modal terhadap buruh yang miskin, dan melarang penumpukan kekayaan. ”Kecelakaanlah bagi setiap … yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung” (104-2). Orang miskin dalam Islam tidak dihujat sebagai kelompok yang malas dan yang tidak suka menabung atau berinvestasi. Ajaran Islam yang paling nyata menjunjung tinggi upaya pemerataan untuk mewujudkan keadilan sosial, ”jangan sampai kekayaan hanya beredar dikalangan orang-orang kaya saja diantara kamu” (59:7).

Disejajarkan dengan Sosialisme, Islam berbeda dalam hal kekuasaan negara, yang dalam Sosialisme sangat kuat dan menentukan. Kebebasan perorangan yang dinilai tinggi dalam Islam jelas bertentangan dengan ajaran Sosialisme.

Akhirnya ajaran Ekonomi Kesejahteraan (Welfare State), yang berada di tengah-tengah antara Kapitalisme dan Sosialisme, memang lebih dekat ke ajaran Islam. Bedanya hanyalah bahwa dalam Islam etika benar-benar dijadikan pedoman perilaku ekonomi sedangkan dalam Welfare State tidak demikian, karena etika Welfare State adalah sekuler yang tidak mengarahkan pada ”integrasi vertikal” antara aspirasi materi dan spiritual (Naqvi,h80)

Demikian dapat disimpulkan bahwa dalam Islam pemenuhan kebutuhan materiil dan spiritual benar-benar dijaga keseimbangannya, dan pengaturan oleh negara, meskipun ada, tidak akan bersifat otoriter.

State intervention, directed primarily at reconciling the possible social conflict between man’s ethical and economic behavior cannot lead the society onto “road to serfdom” but will guide it gently along the road to human freedom and dignity (Naqvi,1951.h81)

Etika Bisnis. Karena etika dijadikan pedoman dalam kegiatan ekonomi dan bisnis, maka etika bisnis menurut ajaran Islam juga dapat digali langsung dari Al Qur’an dan Hadist Nabi. Misalnya karena adanya larangan riba, maka pemilik modal selalu terlibat langsung dan bertanggung jawab terhadap jalannya perusahaan miliknya, bahkan terhadap buruh yang dipekerjakannya. Perusahaan dalam sistem ekonomi Islam adalah perusahaan keluarga bukan Perseroan Terbatas yang pemegang sahamnya dapat menyerahkan pengelolaan perusahaan begitu saja pada Direktur atau manager yang digaji. Memang dalam sistem yang demikian tidak ada perusahaan yang menjadi sangat besar, seperti di dunia kapitalis Barat, tetapi juga tidak ada perusahaan yang tiba-tiba bangkrut atau dibangkrutkan.

Etika Bisnis Islam menjunjung tinggi semangat saling percaya, kejujuran, dan keadilan, sedangkan antara pemilik perusahaan dan karyawan berkembang semangat kekeluargaan (brotherhood). Misalnya dalam perusahaan yang Islami gaji karyawan dapat diturunkan jika perusahaan benar-benar merugi dan karyawan juga mendapat bonus jika keuntungan perusahaan meningkat. Buruh muda yang masih tinggal bersama orang tua dapat dibayar lebih rendah, sedangkan yang sudah berkeluarga dan punya anak dapat dibayar lebih tinggi dibanding rekan-rekannya yang muda. 8)

8) Rodney Wilson, Economics, Ethics and Religion, Macmillan, 1997. h. 211

Ekonomi Pancasila. Sistem Ekonomi Islam yang dijiwai ajaran-ajaran agama Islam memang dapat diamati berjalan dalam masyarakat-masyarakat kecil di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Namun dalam perekonomian yang sudah mengglobal dengan persaingan terbuka, bisnis Islam sering terpaksa menerapkan praktek-praktek bisnis yang non Islami. Misalnya, perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas yang memisahkan kepemilikan dan pengelolaan, dalam proses meningkatkan modal melalui pasar modal (Bursa Efek), sering terpaksa menerima asas-asas sistem kapitalisme yang tidak Islami.

Di Indonesia, meskipun Islam merupakan agama mayoritas, sistem ekonomi Islam secara penuh sulit diterapkan, tetapi Sistem Ekonomi Pancasila yang dapat mencakup warga non Islam kiranya dapat dikembangkan. Merujuk sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, Sistem Ekonomi Pancasila menekankan pada moral Pancasila yang menjunjung tinggi asas keadilan ekonomi dan keadilan sosial seperti halnya sistem ekonomi Islam. Tujuan Sistem Ekonomi Pancasila maupun sistem ekonomi Islam adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang diwujudkan melalui dasar-dasar kemanusiaan dengan cara-cara yang nasionalistik dan demokratis.

Penutup. Ajaran agama Islam dalam perilaku ekonomi manusia dan bisnis Indonesia makin mendesak penerapannya bukan saja karena mayoritas bangsa Indonesia beragama Islam, tetapi karena makin jelas ajaran moral ini sangat sering tidak dipatuhi. Dengan perkataan lain penyimpangan demi penyimpangan dalam Islam jelas merupakan sumber berbagai permasalahan ekonomi nasional.

Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tentram, rezkinya datang melimpah ruah dari segenap tempat, tertapi (penduduknya) mengingkari nikmat-nikmat Allah, karena itu Allah merasakan kepada mereka kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat (An Nahl, 16:112).

Dapatkah kiranya ”perumpamaan” ini tidak dianggap sekedar perumpamaan? Jika tidak, firman Allah lain perlu dicamkan benar-benar.

Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. (Al Israa, 17:16)

III. SISTEM EKONOMI INDONESIA

Apabila ada keberatan dipakainya kata-kata Islam atau Pancasila untuk sistem ekonomi yang kita anggap tepat bagi Indonesia, barangkali yang paling masuk akal adalah menamakannya dengan Sistem Ekonomi Indonesia, mengacu pada kesepakatan Sumpah Pemuda 1928.

Sistem Ekonomi Indonesia adalah aturan main yang mengatur seluruh warga bangsa untuk bertunduk pada pembatasan-pembatasan perilaku sosial-ekonomi setiap orang demi tercapainya tujuan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Aturan main perekonomian Indonesia berasas kekeluargaan dan berdasarkan demokrasi ekonomi, yaitu produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan dan penilikan anggota-anggota masyarakat. Dalam Sistem Ekonomi Indonesia yang demokratis kemakmuran masyarakat lebih diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Setiap warga negara berhak memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, sehingga dapat dihindari kondisi kefakiran dan kemiskinan.


Prof. Dr. Mubyarto : Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM dan Ketua Yayasan Agro Ekonomika

Makalah disampaikan pada Pertemuan III Seminar Pendalaman Ekonomi Rakyat, YAE-Bina Swadaya, di Financial Club, Jakarta, 19 Februari 2002.

Daftar Pustaka

Lunati, M. Teresa, Ethical Issues in Economics, from Altruism to Cooperation to Equality, St. Marten’s Press, New York, 1997.

Mubyarto, Amandemen Konstitusi dan Pergulatan Pakar Ekonomi, Aditya Media, 2001

---------, Ekonomi Pancasila: Landasan Pemikiran Mubyarto, Aditya Media, 1997

---------, Sistem dan Moral ekonomi Indonesia, LP3ES, 1998

Nagvi, Syed Nawab Haider, Ethics and Economics, An Islamic Synthesis, The Islamic Foundation, London, 1981.

Nelson H. Robert, Economics as Religion, Pensylvania, UP. 2001

Swedberg, Richard, Max Weber and the Idea of Economic Sociology, Princeton UP, Princeton, 1998

Weber, Max, The Protestant Ethics and the Spirit of Capitalism, Charles Scribner’s Sons, New York, 1958

---------, Economy and Society, University of California, 1978

---------, General Economic History, Collier Books, 1961

Wilson, Rodney, Economics, Ethics, and Religion, Macmillan, 1997

Senin, 15 Juni 2009

Cerita Hikmah

Bayangkan kalau semua anak Anda menderita lumpuh. Tentu, Anda akan sangat bingung dengan masa depan mereka. Di Purwakarta, ada seorang ibu yang bukan hanya empat anaknya yang lumpuh. Melainkan juga, suami yang menjadi tulang punggung keluarga. Allahu Akbar.

Hal itulah yang kini dialami seorang ibu usia 70 tahun. Namanya Atikah. Di rumahnya yang sederhana, ia dan keluarga lebih banyak berbaring daripada beraktivitas layaknya keluarga besar.

Mak Atikah bersyukur bisa menikah dengan seorang suami yang alhamdulillah baik dan rajin. Walau hanya sebagai pencari rumput, Mak Atikah begitu menghargai pekerjaan yang dilakoni suaminya. Bahkan, tidak jarang, ia membantu sang suami ikut mencari rumput.

Beberapa bulan setelah menikah, tepatnya di tahun 1957, Allah mengaruniai Mak Atikah dengan seorang putera. Ia dan suami begitu bahagia. Ia kasih nama sang putera tercinta dengan nama Entang.

Awalnya, Entang tumbuh normal. Biasa-biasa saja layaknya anak-anak lain. Baru terasa beda ketika anak sulung itu berusia 10 tahun.

Waktu itu, Entang sakit panas. Bagi Mak Atikah dan suami, anak sakit panas sudah menjadi hal biasa. Apalagi tinggal di daerah pedesaan yang jauh dari pelayanan medis. Entang pun dibiarkan sakit panas tanpa obat.

Panas yang diderita sang anak ternyata kian hebat. Tiba-tiba, Entang merasakan kalau kakinya tidak bisa digerakkan. Setelah dicoba beberapa kali, kaki Entang memang benar-benar lumpuh.

Musibah ini ternyata tidak berhenti hanya di si sulung. Tiga adik Entang pun punya gejala sakit yang sama dengan sang kakak. Dan semuanya sakit di usia SD atau kira-kira antara 7 sampai 10 tahun. Satu per satu, anak-anak Mak Atikah menderita lumpuh.

Usut punya usut, ternyata anak-anak yang tinggal di Desa Cileunca, Kecamatan Bojong, Purwakarta itu sebagian besar terserang penyakit polio. Tapi, semuanya sudah serba terlambat. Lagi pula, apa yang bisa dilakukan Mak Atikah dengan suami yang hanya seorang pencari rumput.

Sejak itu, Mak Atikah mengurus empat anaknya sekaligus seorang diri. Dengan sarana hidup yang begitu sederhana, bahkan sangat kekurangan, keluarga ini mengarungi hidup puluhan tahun dengan kesibukan anak-anak yang lumpuh.

Ujian Allah buat Mak Atikah ternyata tidak berhenti sampai di situ. Di tahun 90-an, giliran suami Bu Atikah yang mengalami musibah. Saat mencari rumput, Pak Didin terjatuh. Orang-orang sekitar pun menggotong Pak Didin pulang. Dan sejak itu, Pak Didin tidak bisa lagi menggerakkan kaki dan tangannya. Ia cuma bisa berbaring.

Lalu, bagaimana dengan pemasukan keluarga kalau sang suami tidak lagi bisa berkerja. Bu Atikah pun tidak mau diam. Kalau selama ini ia hanya bisa mengurus anak-anak di rumah, sejak itu, ibu yang waktu itu berusia hampir enam puluh tahun pun menggantikan sang suami dengan pekerjaan yang sama. Di usianya yang begitu lanjut, Bu Atikah mengais rezeki dengan mencari rumput.

Sehari-hari, ia berangkat pagi menuju tanah-tanah kosong yang dipenuhi rumput. Ia kumpulkan rumput-rumput itu dengan sebilah arit, kemudian dibawa ke pemesan. Tidak sampai sepuluh ribu rupiah ia kumpulkan per hari dari mencari rumput. Dan itu, ia gunakan untuk mengepulkan asap dapur rumahnya. Hanya sekadar menyambung hidup.

Di bulan Mei tahun ini, sang suami yang hanya bisa berbaring dipanggil Allah untuk selamanya. Kini, tinggal Mak Atikah yang mengurus keempat anaknya yang tidak juga sembuh dari lumpuh.
Allah menguji hambaNya dengan sesuatu yang mungkin sulit untuk dicerna pikiran orang lain. Subhanallah. (saad/mnh)

Sumber:

Era muslim

Jumat, 12 Juni 2009

Yuk Berwirausaha

Menjadi Entrepreneur Muslim

Islam dan Kewirausahaan

Untuk meraih kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat, Islam tidak hanya mengajarkan kepada pemeluknya untuk beribadah mahdah, tapi juga sangat mendorong umatnya untuk bekerja keras, kendati demikian bukan berarti tanpa kendali.

"Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung". Q.S.62. al Jum’ah.A.10


Kewirausahaan (Inggris: Entrepreneurship) adalah proses mengidentifikasi, mengembangkaan, dan membawa visi ke dalam kehidupan. Visi tersebut bisa berupa ide inovatif, peluang, cara yang lebih baik dalam menjalankan sesuatu. Hasil akhir dari proses tersebut adalah penciptaan usaha baru yang dibentuk pada kondisi risiko atau ketidakpastian.

Kewirausahaan memiliki arti yang berbeda-beda antar para ahli atau sumber acuan karena berbeda-beda titik berat dan penekanannya. Richard Cantillon (1775), misalnya, mendefinisikan kewirausahaan sebagai bekerja sendiri (self-employment). Seorang wirausahawan membeli barang saat ini pada harga tertentu dan menjualnya pada masa yang akan datang dengan harga tidak menentu. Jadi definisi ini lebih menekankan pada bagaimana seseorang menghadapi risiko atau ketidakpastian. Berbeda dengan Cantillon, menurut Penrose (1963) kegiatan kewirausahaan mencakup indentfikasi peluang-peluang di dalam sistem ekonomi sedangkan menurut Harvey Leibenstein (1968, 1979) kewirausahaan mencakup kegiatan yang dibutuhkan untuk menciptakan atau melaksanakan perusahaan pada saat semua pasar belum terbentuk atau belum teridentifikasi dengan jelas, atau komponen fungsi produksinya belum diketahui sepenuhnya. Orang yang melakukan kegiatan kewirausahaan disebut wirausahawan.

Proses kewirausahaan

Menurut Carol Noore yang dikutip oleh Bygrave, proses kewirausahaan diawali dengan adanya inovasi. Inovasi tersebut dipengeruhi oleh berbagai faktor baik yang berasal dari pribadi maupun di luar pribadi, seperti pendidikan, sosiologi, organisasi, kebudayaan dan lingkungan. Faktor-faktor tersebut membentuk ‘’locus of control’’, kreativitas, keinovasian, implementasi, dan pertumbuhan yang kemudian berkembangan menjadi wirausahawan yang besar. Secara internal, keinovasian dipengaruhi oleh faktor yang bersal dari individu, seperti ‘’locus of control’’, toleransi, nilai-nilai, pendidikan, pengalaman. Sedangkan faktor yang berasal dari lingkungan yang memengaruhi diantaranya model peran, aktivitas, dan peluang. Oleh karena itu, inovasi berkembang menjadi kewirausahaan melalui proses yang dipengaruhi lingkungan, organisasi, dan keluarga.

Tahap-tahap kewirausahaan

Secara umum tahap-tahap melakukan wirausaha:

Tahap memulai

Tahap di mana seseorang yang berniat untuk melakukan usaha mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan, diawali dengan melihat peluang usaha baru yang mungkin apakah membuka usaha baru, melakukan akuisisi, atau melakukan ‘’franchising’’.Tahap ini juga memilih jenis usaha yang akan dilakukan apakah di bidang pertanian, industri, atau jasa.

Tahap melaksanakan usaha

Dalam tahap ini seorang wirausahawan mengelola berbagai aspek yang terkait dengan usahanya, mencakup aspek-aspek: pembiayaan, SDM, kepemilikan, organisasi, kepemimpinan yang meliputi bagaimana mengambil risiko dan mengambil keputusan, pemasaran, dan melakukan evaluasi.

Tahap mempertahankan usaha

Tahap di mana wirausahawan berdasarkan hasil yang telah dicapai melakukan analisis perkembangan yang dicapai untuk ditindaklanjuti sesuai dengan kondisi yang dihadapi.

  • Tahap mengembangkan usaha

Tahap di mana jika hasil yang diperoleh tergolong positif atau mengalami perkembangan atau dapat bertahan maka perluasan usaha menjadi salah satu pilihan yang mungkin diambil.

Faktor-faktor motivasi berwirausaha

Ciri-ciri wirausaha yang berhasil:

  • Memiliki visi dan tujuan yang jelas. Hal ini berfungsi untuk menebak ke mana langkah dan arah yang dituju sehingga dapat diketahui langkah yang harus dilakukan oleh pengusaha tersebut.
  • Inisiatif dan selalu proaktif. Ini merupakan ciri mendasar di mana pengusaha tidak hanya menunggu sesuatu terjadi, tetapi terlebih dahulu memulai dan mencari peluang sebagai pelopor dalam berbagai kegiatan.
  • Berorientasi pada prestasi. Pengusaha yang sukses selalu mengejar prestasi yang lebih baik daripada prestasi sebelumnya. Mutu produk, pelayanan yang diberikan, serta kepuasan pelanggan menjadi perhatian utama. Setiap waktu segala aktifitas usaha yang dijalankan selalu dievaluasi dan harus lebih baik dibanding sebelumnya.
  • Berani mengambil risiko. Hal ini merupakan sifat yang harus dimiliki seorang pengusaha kapanpun dan dimanapun, baik dalam bentuk uang maupun waktu.
  • Kerja keras. Jam kerja pengusaha tidak terbatas pada waktu, di mana ada peluang di situ dia datang. Kadang-kadang seorang pengusaha sulit untuk mengatur waktu kerjanya. Benaknya selalu memikirkan kemajuan usahanya.Ide-ide baru selalu mendorongnya untuk bekerja kerjas merealisasikannya. Tidak ada kata sulit dan tidak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan.
  • Bertanggungjawab terhadap segala aktivitas yang dijalankannya, baik sekarang maupun yang akan datang. Tanggung jawab seorang pengusaha tidak hanya pada segi material, tetapi juga moral kepada berbagai pihak.
  • Komitmen pada berbagai pihak.
  • Mengembangkan dan memelihara hubungan baik dengan berbagai pihak, baik yang berhubungan langsung dengan usaha yang dijalankan maupun tidak. Hubungan baik yang perlu dijalankan, antara lain kepada: para pelanggan, pemerintah, pemasok, serta masyarakat luas.

Sikap wirausaha

Dari daftar ciri dan sifat watak seorang wirausahawan di atas, dapat kita identifikasi sikap seorang wirausahawan yang dapat diangkat dari kegiatannya sehari-hari, sebagai berikut:

  • Disiplin

Dalam melaksanakan kegiatannya, seorang wirausahawan harus memiliki kedisiplinan yang tinggi. Arti dari kata disiplin itu sendiri adalah ketepatan komitmen wirausahawan terhadap tugas dan pekerjaannya. Ketepatan yang dimaksud bersifat menyeluruh, yaitu ketepatan terhadap waktu, kualitas pekerjaan, sistem kerja dan sebagainya. Ketepatan terhadap waktu, dapat dibina dalam diri seseorang dengan berusaha menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan waktu yang direncanakan. Sifat sering menunda pekerjaan dengan berbagai macam alasan, adalah kendala yang dapat menghambat seorang wirausahawan meraih keberhasilan.Kedisiplinan terhadap komitmen akan kualitas pekerjaan dapat dibina dengan ketaatan wirausahawan akan komitmen tersebut. Wirausahawan harus taat azas. Hal tersebut akan dapat tercapai jika wirausahawan memiliki kedisiplinan yang tinggi terhadap sistem kerja yang telah ditetapkan. Ketaatan wirausahawan akan kesepakatan-kesepakatan yang dibuatnya adalah contoh dari kedisiplinan akan kualitas pekerjaan dan sistem kerja.

  • Komitmen Tinggi

Komitmen adalah kesepakatan mengenai sesuatu hal yang dibuat oleh seseorang, baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain. Dalam melaksanakan kegiatannya, seorang wirausahawan harus memiliki komitmen yang jelas, terarah dan bersifat progresif (berorientasi pada kemajuan). Komitmen terhadap dirinya sendiri dapat dibuat dengan identifikasi cita-cita, harapan dan target-target yang direncanakan dalam hidupnya.Sedangkan contoh komitmen wirausahawan terhadap orang lain terutama konsumennya adalah pelayanan prima yang berorientasi pada kepuasan konsumen, kualitas produk yang sesuai dengan harga produk yang ditawarkan, penyelesaian bagi masalah konsumen, dan sebagainya.Seorang wirausahawan yang teguh menjaga komitmennya terhadapkonsumen, akan memiliki nama baik di mata konsumen yang akhirnya wirausahawan tersebut akan mendapatkan kepercayaan dari konsumen, dengan dampak pembelian terus meningkat sehingga pada akhirnya tercapai target perusahaan yaitu memperoleh laba yang diharapkan.

  • Jujur

Kejujuran merupakan landasan moral yang kadang-kadang dilupakan oleh seorang wirausahawan. Kejujuran dalam berperilaku bersifat kompleks.Kejujuran mengenai karakteristik produk (barang dan jasa) yang ditawarkan, kejujuran mengenai promosi yang dilakukan, kejujuran mengenai pelayanan purnajual yang dijanjikan dan kejujuran mengenai segala kegiatan yang terkait dengan penjualan produk yang dilakukan olehwirausahawan.

  • Kreatif dan Inovatif

Untuk memenangkan persaingan, maka seorang wirausahawan harus memiliki daya kreativitas yang tinggi. Daya kreativitas tersebut sebaiknya dilandasi oleh cara berpikir yang maju, penuh dengan gagasan-gagasan baru yang berbeda dengan produk-produk yang telah ada selama ini di pasar. Gagasan-gagasan yang kreatif umumnya tidak dapat dibatasi oleh ruang, bentuk ataupun waktu. Justru seringkali ide-ide jenius yangmemberikan terobosan-terobosan baru dalam dunia usaha awalnya adalah dilandasi oleh gagasan-gagasan kreatif yang kelihatannya mustahil.

  • Mandiri

Seseorang dikatakan “mandiri” apabila orang tersebut dapat melakukan keinginan dengan baik tanpa adanya ketergantungan pihak lain dalammengambil keputusan atau bertindak, termasuk mencukupi kebutuhan hidupnya, tanpa adanya ketergantungan dengan pihak lain. Kemandirian merupakan sifat mutlak yang harus dimiliki oleh seorang wirausahawan. Pada prinsipnya seorang wirausahawan harus memiliki sikap mandiri dalam memenuhi kegiatan usahanya.

  • Realistis

Seseorang dikatakan realistis bila orang tersebut mampu menggunakan fakta/realita sebagai landasan berpikir yang rasional dalam setiap pengambilan keputusan maupun tindakan/ perbuatannya.Banyak seorang calon wirausahawan yang berpotensi tinggi, namun pada akhirnya mengalami kegagalan hanya karena wirausahawan tersebut tidak realistis, obyektif dan rasional dalam pengambilan keputusan bisnisnya.Karena itu dibutuhkan kecerdasan dalam melakukan seleksi terhadap masukan-masukan/ sumbang saran yang ada keterkaitan erat dengan tingkat keberhasilan usaha yang sedang dirintis.



Jenis-jenis Kewirausahaan

1. Bidang Makanan, Minumana dan Sejenisnya

2. Bidang Sandang/Pakaian dan Perlengkapannya

3. Bidang Perumahan dan sejenisnya

4. Bidang Jasa dan Lainnya


Kewirausahaan dalam Islam


Dalam konteks Islam, Nabi Muhammad SAW adalah wirausahawan sejati yang memiliki kemerdekaan, kebebasan dan memupuk kepercayaan pada diri sendiri melalui pengalaman yang menyenangkan ketika hidup di pedalaman dalam asuhan ibu susunya-Halimah, dan masa pahit dan penuh kepedihan karena terlahir sebagai seorang yatim dan ditinggal ibunya-Aminah ketika ia baru berusia enam tahun. Muhammad kemudian dibesarkan oleh kakeknya yang juga tidak begitu lama bersamanya. Abu Thalib, pakcik kandungnyalah kemudian mengambil alih pengasuhan atas Muhammad yang masih berusia kurang dari 9 tahun.


Dan inilah modal psikologis yang paling kokoh sebagai landasan sikap, dan prilaku wirausahawan beliau dikemudian hari dan menjadi referensi penelitian para ahli kewirausahaan, seperti David Moores dan Orvis Colins, Abaham Zaleznik, Jhon Kao dll. Dalam kitab Musnad Imam Ahmad juz 4 dan The History of Islam vol.1 hal. 96 diceritakan bahwa, Muhammad baru berusia dua belas tahun ketika pergi ke Syria berdagang bersama Abu Thalib, pamannya. Ketika pamannya meninggal dunia, beliau tumbuh dan berkembang sebagai wirausahawan yang mandiri dengan melakukan perdagangan keliling di kota Makkah dengan rajin, penuh dedikasi pada usahanya.

Kecerdasan/fathonah, kejujuran/siddiq, dan kesetiaannya memegang janji/amanah, adalah sebagai dasar etika wirausaha yang sangat moderen. Dari sifat-sifat yang dimilikinya itulah maka berbagai pinjaman komersial/commercial loan tersedia di kota Makkah yang pada gilirannya membuka peluang antara Muhammad dengan pemilik modal. Salah seorang pemilik modal terbesar ketika itu adalah seorang janda kaya bernama Khadijah, yang memberikan tawaran suatu kemitraan berdasarkan pada sistem bagi hasil/profit sharing atau mudharabah. Kecerdasan Muhammad sebagai seorang wirausahawan telah mendatangkan keuntungan besar bagi Khadijah, karena tidak satupun jenis bisnis yang ditangani Muhammad mengalami kerugian.

Lebih kurang dua puluh tahun Muhammad berkiprah sebagai seorang wirausahawan sehingga beliau sangat dikenal di Syria, Yaman, Basra (Iraq), Yordania dan kota-kota perdagangan di jazirah Arabia. Dalam berbagai telaah sejarah diriwayatkan bahwa, Muhammad memulai perdagangannya pada usia tujuh belas tahun di saat Abu Thalib menganjurkan untuk berdagang sebagai cara melepaskan beban keluarga pakciknya dan beliau sendiri. Adalah normal bagi seorang pemuda yang jujur dan penuh idealisme untuk melakukan kerja keras dan menjalankan perdagangan secara adil dan atas dasar suka sama suka. Dengan cara itu Muhammad percaya bahwa kalau ia jujur, setia dan profesional, maka orang akan mempercayainya. Inilah dasar kepribadian dan etika berwirausaha yang diletakkan Nabi Muhammad SAW umatnya dan seluruh umat manusia. Dasardasar etika wirausaha yang demikian itu pula kemudian yang menyebabkan pengaruh Islam berkembang pesat sampai kepelosok bumi.

Dari sudut pandang ekonomi , ajaran dan keteladanan yang ditinggalkan Nabi Muhammad SAW semakin terasa urgensi dan relevansinya jika kita mencitacitakan terwujudnya masyarakat yang adil dalam kemakmuran, dan makmur dalam berkeadilan. Prinsip bisnis moderen seperti, efisiensi, transparansi, persaingan sehat, kredibilitas, memelihara relasi melalui layanan manusiawi, dapat ditemukan dalam etika dan prilaku bisnis Muhammad sebelum menjadi Rasul. Etika bisnis memegang peranan sangat penting jika seseorang atau sekelompok orang memegang peranan yang menentukan nasib bisnis lain atau masyarakat yang lebih luas, dan mereka inilah yang disebut pemimpin atau lapisan kepemimpinan dunia usaha. Relevansi etika bisnis dan efisiensi dapat digambarkan secara sederhana.

Jika seorang pemimpin menyalahgunakan wewenang yang dimilikinya pasti ada yang menjadi korban, Karena wewenang yang dimiliki bersifat publik, maka rakyatlah yang dirugikan, yang pada gilirannya akan meningkatkan biaya ekonomi yang tinggi. Dalam kurun waktu sebelum diangkat menjadi Rasul, Muhammad telah meletakkan dasar-dasar etika, moral dan etos kerja yang mendahului zamannya. Dasar-dasar etika wirausaha tersebut telah mendapat legitimasi keagamaan setelah beliau diangkat menjadi Rasul. Prinsip-prinsip etika bisnis wirausaha yang diwariskan beliau dan Islam semakin mendapat pembenaran akademis

Sayangnya, umat Islam Indonesia sepertinya tidak begitu tertarik dengan berwirausaha. Umat kita lebih condong menjadi pegawai negri. Akibatnya, sebagai umat mayoritas, kita jauh tertinggal dari umat lain dan menjadi bulan-bulanan dalam bisnis dan sebagai penonton dari kesuksesan wirausaha umat lain. Dari sudut pandang ekonomi, era global ditandai dengan aktivitas ekonomi baru, yakni perdagangan bebas dan pasar global.

Berbagai kawasan dunia akan menjadi pasar dagang dan lahan investasi international secara bebas dan terbuka. Karenanya setiap individu umat Islam harus mulai berpikir dan berinteraksi dengan individu atau kelompok untuk berwirausaha dan menjalin kerjasama dalam bentuk kemitraan maupun persaingan sebagaimana saudara-saudara kita dari suku China yang telah sukses dan pengendali wirausaha di negri ini.

Firman Allah pada ayat di atas sebenarnya memberikan motivasi yang begitu kuat bagi umat Islam untuk bekerja dan berwirausaha. Rasulullah SAW bersabda, "Tiada seorang yang makan makanan yang lebih baik dari makanan dari hasil usahanya sendiri (wirausaha). Sesunggunya Nabi Allah Daud, itupun makan dari hasil usahanya sendiri (wirausaha). H.R. Bukhari. Wallahu a’lam.



Mari Berwirausaha!

Referensi

  1. ^ Kasmir: "Ciri-ciri Wirausaha", ‘’Kewirausahaan’’, halaman 27-28. Alfabeta, 2007
2. Islam dan Wirausaha Oleh H. Fachrurrozy Pulungan, SE

Selasa, 02 Juni 2009

School of Electrical Engineering and Computer Science at Manbaul Ullum University

-"MENCERDASKAN UMAT"-

School of Electrical Engineering and Informatics
EECS at MU
Electrical Enginering & Computer Sciences IR&D Center
at Manbaul Ullum University


Visi
Menjadi Pusat Pelatihan dan Pembelajaran ICT Cyber Terdepan
Misi

1. Unggul dalam Pendidikan ICT untuk pendidikan dasar dan menengah
2. Pusat Riset, Innovasi dan Pengembangan ICT
3. Teknologi Tepat guna dalam bidang ICT
4. Pusat data dan penganalisaannya

Staf Pendidik.

Barkah Firdaus (Ko.)

Ginanjar F.M. & Dian Hadiana

Sandi Socrates

Agus Haeruman

Ngara

Dede Supriatna

Indah

Rani Kharismaya

Ricky Taufikurrahman

Riki

Ricky Aji P.

Arip Nurahman

Anton Timur J.

Wendy Afriza

Teknologi Internet

From SpeedyWiki

Jump to: navigation, search

Sejarah Singkat Internet


Konsep

Teknis

Networking

Aplikasi Internet

Pranala Menarik

Sumber:

http://opensource.telkomspeedy.com/wiki/index.php/Teknologi_Internet