1) Bagi Hasil berdasarkan akad Mudharabah/ Muqaradhah/ Qiradh atau Musyarakah. Karena akad Mudharabah/ Musyarakah adalah kerja sama dengan skema bagi hasil pendapatan atau keuntungan, obligasi jenis ini akan memberikan return dengan penggunaan term indicative/ expected return karena sifatnya yang floating dan tergantung pada kinerja pendapatan yang dibagihasilkan.
2) Margin/Fee berdasarkan akad Murabahah atau Salam atau Istishna atau Ijarah. Dengan akad Murabahah/ Salam/ Isthisna sebagai bentuk jual beli dengan skema cost plus basis, obligasi jenis ini akan memberikan fixed return.
Di Indonesia, yang banyak digunakan dalam penerbitan obligasi syariah adalah struktur Mudharabah (bagi hasil pendapatan) baik yang telah diterbitkan maupun yang akan diterbitkan dalam waktu dekat. Sehingga, yang dikenal adalah Obligasi Syariah Mudharabah.
Obligasi Syariah Mudharabah memang telah memiliki pedoman khusus dengan disahkannya Fatwa No: 33/DSN-MUI/ IX/2002. Disebutkan dalam fatwa tersebut, bahwa Obligasi Syariah Mudharabah adalah obligasi syariah yang menggunakan akad Mudharabah. Selain telah mempunyai pedoman khusus, terdapat beberapa alasan lain yang mendasari pemilihan struktur mudharabah ini, di antaranya adalah:
i. Bentuk pendanaan yang paling sesuai untuk investasi dalam jumlah besar dan jangka yang relatif panjang.
ii. Dapat digunakan untuk pendanaan umum (general financing), seperti pendanaan modal kerja ataupun pendanaan capital expenditure.
iii. Mudharabah merupakan percampuran kerja sama antara modal dan jasa (kegiatan usaha) sehingga membuat strukturnya memungkinkan untuk tidak memerlukan jaminan (collateral) atas aset yang spesifik. Hal ini berbeda dengan struktur yang menggunakan dasar akad jual beli yang mensyaratkan jaminan atas aset yang didanai;
iv. Kecenderungan regional dan global, dari penggunaan struktur Murabahah dan Bai Bi-tsaman Ajil menjadi Mudharabah dan Ijarah
Mekanisme atau beberapa hal pokok mengenai Obligasi Syariah Mudharabah ini dapat diringkaskan dalam butir-butir berikut:
i. Kontrak atau akad Mudharabah dituangkan dalam perjanjian perwaliamanatan.
ii. Rasio atau persentase bagi hasil (nisbah) dapat ditetapkan berdasarkan komponen pendapatan (revenue) atau keuntungan (profit; operating profit, EBIT, atau EBITDA). Tetapi, Fatwa No: 15/DSN-MUI/IX/2000 memberi pertimbangan bahwa dari segi kemaslahatan pembagian usaha sebaiknya menggunakan prinsip Revenue Sharing.
iii. Nisbah ini dapat ditetapkan konstan, meningkat, ataupun menurun, dengan mempertimbangkan proyeksi pendapatan Emiten, tetapi sudah ditetapkan di awal kontrak.
iv. Pendapatan Bagi Hasil berarti jumlah pendapatan yang dibagihasilkan yang menjadi hak dan oleh karenanya harus dibayarkan oleh emiten kepada pemegang obligasi syariah yang dihitung berdasarkan perkalian antara nisbah pemegang obligasi syariah dengan pendapatan/ keuntungan yang dibagihasilkan yang jumlahnya tercantum dalam laporan keuangan konsolidasi emiten.
v. Pembagian hasil pendapatan ini atau keuntungan dapat dilakukan secara periodik (tahunan, semesteran, kuartalan, bulanan).
vi. Karena besarnya pendapatan bagi hasil akan ditentukan oleh kinerja aktual emiten, maka obligasi syariah memberikan indicative return tertentu.
Sumber:
Zona Ekonomi Islam