Minggu, 25 Oktober 2009
Tragedi Kehidupan Kita Dengan Facebook
Kamis, 15 Oktober 2009
TANTANGAN ILMU EKONOMI DALAM MENANGGULANGI KEMISKINAN
[Artikel - Ekonomi Rakyat dan Pendidikan Ilmu Ekonomi - Maret 2003]
Mubyarto
TANTANGAN ILMU EKONOMI DALAM MENANGGULANGI KEMISKINAN
Pendahuluan
Pada kunjungan 5 hari di Bangladesh, ada seorang rekan menerima SMS dari Indonesia “Masya Allah, mencari apa di Bangladesh, apakah tidak ada negara lain yang dapat dikunjungi sebagai tempat belajar selain Bangladesh yang sudah jelas merupakan International Basketplace?” Istilah International Basketplace ini dikenalkan Robet McNamara, ketika itu Presiden Bank Dunia, untuk menggambarkan contoh kemiskinan yang sangat parah. Memang benar kebanyakan orang merasa hanya dapat belajar dari masyarakat/bangsa yang sudah lebih maju, dan lebih kaya dari kita, dan bagaimana kita dapat belajar untuk menuju ke sana. Namun yang lebih benar proses kemajuan negara-negara industri maju banyak yang tidak serta merta bisa kita tiru, sedangkan dari negara-negara yang masih “dibelakang kita” kita justru dapat lebih banyak belajar untuk menghindari hal-hal dan kebijakan-kebijakan keliru yang dilakukan negara-negara yang masih terbelakang tersebut.
Bangladesh dengan penduduk 132 juta orang adalah negara berpenduduk terbesar nomor 8 di dunia. Negara yang baru 33 tahun merdeka ini (dari Pakistan 1971) dilaporkan berpendapatan perkapita US$380 dengan penduduk miskin sekitar 50% dari jumlah penduduk keseluruhan.
Bangladesh adalah “simbol kemiskinan Asia” sehingga “pakar kemiskinan” seluruh dunia merasa “belum pakar” jika belum datang atau mempelajari masalah kemiskinan negara ini. Dari berbagai masalah tentang kemiskinan di Bangladesh, microcredit atau microfinance adalah salah satu yang paling menonjol. Bangladesh dianggap sebagai negara tempat kelahiran “ilmu kredit mikro” (microcredit science) berbentuk Bank Perdesaan, atau dalam bahasa Bengali Grameen Bank, yang dirintis oleh Profesor Muhammad Yunus.[2] Grameen Bank (GB) kini menjadi simbol keberhasilan atau kunci sukses program penanggulangan kemiskinan yang selanjutnya ditiru/direplikasi di berbagai negara termasuk Indonesia.
Grameen Bank
Sekitar 10 kelompok perempuan miskin, masing-masing beranggota 5 orang, ketika kita mendekati tempat pertemuan mereka, mengucapkan sumpah/janji berupa “16 keputusan” (sixteen decisions) antara lain melaksanakan KB, mendidik anak, hanya minum air putih yang dimasak atau air sumur yang sehat, dan menahan diri dari membayar atau memakai “mahar” dalam perkawinan anak-anaknya. Semua sumpah/janji ini dapat diringkas dalam 4 asas hidup Grameen Bank, yaitu disiplin, bersatu, berani, dan bekerja keras.[3]
GB yang mulai beroperasi tahun 1976, 5 tahun setelah kemerdekaan Bangladesh, menjadi bukti keprihatinan seorang Gurubesar ekonomi Prof. M. Yunus, untuk membantu mengatasi kelaparan (famine) yang luar biasa yang menelan jutaan korban meninggal di Bangladesh pada tahun 1974.
I became involved because poverty was all around me. I could not turn my eyes away from it. In 1974 I found it difficult to teach elegant theories of economics in the classroom in the backdrop of a terrible famine in Bangladesh.[4]
It did not take much time for me to resolve that any economics, which does not have an answer for poverty, and hunger in a simple straightforward way, is definitely not for me. I tried to find my own economics. I was shocked, I was thrilled as I went along. My pursuit gradually took an institutional shape, we called it Grameen Bank.[5]
[4] Muhammad Yunus, 2003, Halving Poverty by 2015: We can Actually Make It Happen, Grameen Bank.
Ilmu Ekonomi dan Kelaparan
Meskipun kemiskinan penduduk Bangladesh sesudah “pembebasan dari penjajahan” Pakistan mengerikan, namun kelaparan besar-besaran (famine) yang terjadi tahun 1974 itulah yang secara kejiwaan mengejutkan seorang Muhammad Yunus yang sebagai Doktor ekonomi muda tamatan Unversitas di Amerika (Vanderbilt) sangat kecewa tidak dapat menggunakan ilmu ekonominya untuk ikut memikirkan cara-cara mengatasinya.
Most important step to end poverty is to create employment and income opportunity for the poor. But orthodox economics recognized only wage employment. It has no room for self-employment. But self-employment is the quickest and easiest ways to create employment for the poor. (Yunus, 2003: 8)
They did not have to learn economic theories and end up with a mindset that the only way they can make a living is to find a job in the job market. If you don’t get a job march on the street! In the third world countries even if you march on the street there is no job for you. As a result the poor go out and create their own jobs. Since economics text-books do not recognize them, there is no supportive institution and policies to help them. (Yunus, 2003: 9)
Demikian kiranya jelas dari berbagai pemikiran Muhammad Yunus dalam mengembangkan GB bahwa teori ekonomi (Neoklasik) tentang kemiskinan dan pengangguran tidak cocok, atau lebih tegas keliru dan menyesatkan, jika dijadikan dasar pengambilan kebijakan. Kemiskinan dan pengangguran bukan merupakan kesalahan dan dosa si miskin. Mereka telah menjadi korban sistem ekonomi kapitalistik-liberal yang menempatkan pemilik modal atau kapitalis selalu sebagai pencipta lapangan kerja dan pemberi pekerjaan, sedangkan orang-orang miskin selalu berkedudukan sebagai “peminta” atau “pengemis” pekerjaan. Ini semua merupakan teori ekonomi yang keliru jika diterapkan di negara-negara berkembang.
Economic theory in its simplification visualises people as providers of labor. They are born to take orders from a small group of very special kind of people known as “entrepreneurs”. These special people are the only people who can think, organise, and act. All other people simply fill in the work slots created by the thinking and driving people. (Yunus 2003: 10)
Kiranya tidak diragukan lagi bahwa jika kita di Indonesia bertekad memberantas kemiskinan dan “pengangguran”, kata “pengangguran” harus diberi tanda kutip karena “pengangguran” kita sangat berbeda dengan konsep pengangguran di buku-buku teks, kita harus tinggalkan semua konsep-konsep Barat dan diganti dengan konsep-konsep kita sendiri.
It will be an uphill task to end poverty in this world unless we create new economic thinking and get rid of the biases in our concept, institutions, policies, and above all, our mindset created by the existing orthodoxy. Unless we change our mindset, we can not change our world (Yunus 2003 : 11)
Perubahan mindset (cara pandang/kerangka berpikir/paradigma) yang kini sangat diperlukan bagi pemecahan masalah-masalah sosial-ekonomi bangsa Indonesia merupakan kebutuhan mutlak dewasa ini, dan ini harus dipimpin oleh para ekonom sosial, yaitu ekonom yang telah mengaku dosa atas pemikiran-pemikiran, perilaku, dan tindakan-tindakan “keblinger” di masa lalu yang semata-mata bersumber pada pemikiran-pemikiran ekonomi Neoklasik Barat. Pemikiran-pemikiran ekonomi baru yang kami sebut dengan nama Ekonomi Pancasila adalah ekonomi pasar yang Pancasilais, yang bermoral Ketuhanan Yang Maha Esa, bermoral kemanusiaan yang adil dan beradab, bermoral nasionalisme/kebangsaan, bermoral kerakyatan, dan semuanya diarahkan pada upaya-upaya serius menuju terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Entrepreneur (Pengusaha) Pancasilais
Prof Muhammad Yunus secara eksplisit menunjuk pada kekeliruan menganggap pengusaha (entrepreneur) yang bermodal sebagai “kunci” kemajuan ekonomi suatu bangsa, yang tanpa cacat, dan harus “dipuja-puja”. Itulah yang kebetulan termuat juga dalam buku-buku pelajaran ekonomi di sekolah-sekolah lanjutan kita. Misalnya dengan sangat mencolok disebutkan bahwa pengusaha berperan dalam :
(1.) menambah produksi nasional
(2.) menciptakan kesempatan kerja
(3.) membantu pemerintah mengurangi pengangguran
(4.) membantu pemerintah dalam pemerataan pembangunan
(5.) menambah sumber devisa bagi pemerintah
(6.) menambah sumber pendapatan negara dengan membayar pajak
(7.) membantu pemerintah memakmurkan bangsa[6]
[6] Mubyarto, (2002), Ekonomi Pancasila, BPFE, h.71
Bahwa pengusaha atau entrepreneur selalu hanya “menambah produksi dan pendapatan negara”, serta “membantu” pemerintah, sungguh tidak sesuai dengan kenyataan kehidupan ekonomi bangsa Indonesia, lebih-lebih menjelang dan ketika terjadi krismon 1997/98. Bahkan sejak waktu itu pengusaha konglomerat menunjukkan keserakahan luar biasa dengan merugikan rakyat banyak, dan pemerintah tidak berdaya bersikap keras menghukum kejahatan-kejahatan mereka. Malahan sebaliknya pemerintah memihak mereka dengan memberikan BLBI Rp 140 trilyun untuk membantu mereka dan selanjutnya berutang kepada “masyarakat” sebesar Rp 650 trilyun untuk “menyelamatkan” mereka dari kehancuran. Alangkah sulit guru-guru ekonomi sekolah lanjutan kita dalam menerangkan “kontradiksi-kontradiksi” yang demikian kepada murid-murid. Apa yang tertulis dalam buku-buku pelajaran ekonomi sekolah lanjutan kita sungguh-sungguh bertentangan dengan kenyataan. Untuk “meluruskan” ajaran ilmu ekonomi yang menyesatkan ini Muhammad Yunus memperkenalkan konsep “social entrepreneur”.
If economics could envisage two types of entrepreneurs, personal driven and social-objective driven, it would not only be more realistic but it would have helped the world solve many of the problems that profit-driven market doesn’t solve today (Yunus 2003 : 12)
Social-objective driven investors will need to separate (social) stock market, separate rating agencies, separate financial institutions, social mutual funds, and social venture capital, etc. Almost everything that we have for profit driven entrepreneur will be needed for sicial-objective driven enterprises, such as audit firms, due diligence and impact assesment methodologis, etc. Only in a different context, and with different methodologies. (Yunus, 2003: 4)
Anybody who is offering his/her time and energy to addres any social or economic problem of a group or communities is a social entrepreneur. (Yunus, 2003 : 16)
Jika kekeliruan kita yang selalu memuja-muja pengusaha atau investor ini kita koreksi dengan memperkenalkan pengusaha sosial (social entrepreneur), maka kita dapat berharap kemiskinan dapat diatasi melalui berbagai kebijakan yang memihak pada si miskin.
We cannot cope with the problems of poverty within the orthodoxy of capitalism preached and practised today.
With the failure of many third world governments in running businesses, health, education, and welfare programmes efficiently, everyone is quick to recommend – “hand it out to the private sector”... Which private sector are we talking about?
Personal private sector has its own agenda. It comes in serious conflict with the pro-poor, pro-women, pro-environment agenda! Economic theory has not provided us wth any alternative to this familiar private sector. I argue that we can create a powerfull alternative – a social conciousness-driven private sector created by social entrepreneurs (Yunus, 2003 : 16)
Social entrepreneur must be supported and encoureged to get involved in the process of globalization to make it friendly to the poor. Special privileges should be offered to them to let them scale up and multiply (Yunus, 2003 : 21)
Ajaran Ilmu Ekonomi yang Menyesatkan
John Bresnan, Senior Research Scholar di Universitas Columbia (AS), yang pernah menjadi kepala perwakilan Ford Foundation di Jakarta dalam bukunya “Managing Indonesia” (Columbia University Press, 1993), menyediakan satu bab khusus tentang peranan dan jasa besar teknokrat ekonomi Indonesia dalam membawa kesejahteraan pada rakyat Indonesia. Bangsa Indonesia sebelumnya dikenal telah “menyia-nyiakan” setiap peluang membangun ekonomi selama 20 tahun kemerdekaan (1945-1965). Mengapa teknokrat ekonomi disanjung di luar negeri terutama di Amerika? Sebabnya, mereka sebagian besar belajar di sana, pada awalnya di dua universitas “terbaik” di Amerika yaitu University of California-Berkeley dan University of Wisconsin-Madison. Setelah selesai belajar di Amerika mereka membawa pulang mazab ekonomi Amerika, yang mereka percaya penuh seluruhnya dapat diterapkan di Indonesia. Dan memang benar pertumbuhan ekonomi yang mendekati “keajaiban” (miracle) berlangsung selama 3 dekade hampir tanpa henti, yang mampu menaikkan pendapatan per kapita dari di bawah US$ 100 menjadi diatas US$ 1000. Maka pada tahun 1996 Indonesia dinobatkan sebagai “The Emerging Giant of South-East Asia”. Pemerintah Orde Baru sangat bangga dengan jasa-jasa para teknokrat, dan Fakultas-fakultas Ekonomi di seluruh Indonesia menjadi fakultas favorit.
Sayangnya “cerita sukses” ekonomi Indonesia ini tidak pernah diterima secara kritis, dengan mengenali kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahannya. Yang paling serius dari kekurangan dan kelemahan itu adalah tidak pernah dipertanyakan apakah hasil-hasil pembangunan ekonomi telah dinikmati secara merata dan adil bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana diidam-idamkan dalam Pancasila dasar negara. Fakultas Ekonomi UGM berturut-turut pada tahun 1980 dan 1981 mengadakan seminar nasional tentang Ekonomi Pancasila, yang maksudnya mengingatkan bangsa Indonesia tentang kekeliruan mazab ekonomi yang hanya mengajarkan pertumbuhan ekonomi tanpa memikirkan pembagiannya. Pikiran kritis dari pakar-pakar ekonomi UGM ini, yang sebagian besar juga belajar ilmu ekonomi di AS, mendapat sambutan positif dan hangat dari masyarakat Indonesia, tetapi disambut dingin bahkan dicibirkan oleh pakar-pakar ekonomi FE-UI, yang sebagian besar tokoh-tokohnya memang menjadi “otak” pemikiran ekonomi pemerintah Orde Baru. Pakar-pakar ekonomi UGM, yang waktu itu sangat kompak mendukung penuh konsep Ekonomi Pancasila ini, akhirnya tercerai-berai setelah Pidato Kenegaraan Presiden RI 16 Agustus 1981, yang menuduh para ekonom UGM “mencari-cari”, atau pemikiran-pemikiran ekonominya dianggap “ngawur”.
Kini hampir 25 tahun kemudian, mata seluruh rakyat Indonesia kembali diarahkan ke UGM dengan harapan sisa-sisa idealisme para pakar ekonominya masih dapat diandalkan untuk mengoreksi secara total kekeliruan pemikiran para teknokrat ekonomi Orde Baru yang telah menghasilkan krisis keuangan berkepanjangan sejak 1997. Meskipun secara keseluruhan pemikiran kapitalistik-liberal teknokrat ekonomi telah ditolak oleh para pembaharu (reformis), namun hampir semua pakar ekonomi yang “menguasai” Fakultas-Fakultas Ekonomi Negeri maupun Swasta di seluruh Indonesia adalah pakar-pakar kapitalis liberal yang sangat mengandalkan pada kekuatan pasar bebas. Begitu bertekuk lutut mereka pada pasar global sampai-sampai mereka selalu menyerah dengan menyatakan “if we cannot beat them, join them!”.
Menelusuri kembali asal-muasal pemikiran ekonomi yang “keblinger” ini, apa yang ditulis John Bresnan dalam buku yang disebutkan di atas, dapat memberikan sekedar keterangan,
Indeed, the economists’ political ideas were poorly developed....
Political issues properly speaking, seemed not to have a place in their thinking at all....
The economists also did not share the Indonesian nationalists’ discomfort with foreign aid or foreign investment....
The young Indonesian economists had, as this suggests, considerable confidence that mainstream Western economic thingking could be applied to Indonesia. Their years at Berkeley and other (largely) American Universities also gave them great confidence in their profesional ability to set the nation on the path to economic growth; this alone tended to set them apart from others, to bind them closely together as a kind of secular brotherhood, earning them the sobriquet “Berkeley Mafia”. (Bresnan, 1993: 82-83)
Pada tahun 2002 bersama seorang rekan “ekonom pertanian” dari Universitas Wisconsin, Daniel W Bromley, kami mencoba meyakinkan rekan-rekan ekonom Indonesia untuk “mengaku dosa”, dan selanjutnya “kembali ke jalan yang benar”, mengibarkan bendera Ekonomi Pancasila seperti yang telah kita kibarkan 25 tahun lalu. Upaya besar ini rupanya tidak akan mudah mencapai hasil karena buku kami tersebut “hampir tidak ada yang membaca”. Bahkan seorang Guru Besar Muda yang baru-baru ini menyampaikan pidato pengukuhan, yang menyerang teori ekonomi Neoklasik, tidak merasa perlu menunjuk perjuangan FE-UGM 25 tahun yang lalu, yang memberikan kritik yang persis sama terhadap (ajaran) teori ekonomi Neoklasik, dan yang ingin mewujudkan Ekonomi Pancasila.
Patutkah kita berputus asa? Tidak, sekali lagi Tidak. Yang kita pertaruhkan adalah 210 juta bangsa Indonesia yang hampir 40 juta diantaranya kini, setelah 58 tahun merdeka, masih hidup dalam serba kemiskinan. Dosa kita para pakar ekonomi akan lebih besar lagi jika kita menyerah. Mereka yang masih percaya pada kebenaran pemikiran dan jasa besar Sukarno-Hatta proklamator Republik Indonesia, perlu terus melanjutkan perjuangan mewujudkan cita-cita Pancasila dalam praktik hidup bangsa sekarang ini.
Jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Pancasila yang saya usulkan itu menjadi satu realiteit, ... janganlah lupa akan syarat untuk menyelenggarakannya ialah perjuangan, perjuangan, sekali lagi perjuangan. Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara Indonesia Merdeka itu perjuangan kita telah berakhir. Tidak! Bahkan saya berkata: Di dalam Indonesia merdeka itu perjuangan kita harus berjalan terus, hanya lain sifatnya dengan perjuangan sekarang, lain coraknya. Nanti kita bersama-sama sebagai bangsa yang bersatu padu, berjuang terus menyelenggarkan apa yang kita cita-citakan di dalam Pancasila (Soekarno, 1 Juni 1945).
Kita manusia itu sifatnya lupa ... dengan Pancasila itu diingatkan kita bahwa ada Pancasila. Kalau sekali-sekali kita berbuat salah, diingatkan kita, sehingga kita harus kembali ke jalan yang lurus. Itulah gunanya Pancasila itu. Bukan sekedar untuk dihapalkan di bibir saja. Hapalkan, jalankan dengan bukti. (M. Hatta, 1980)
Ilmu ekonomi yang kita ajarkan kepada mahasiswa kita sekarang yang sudah kita ajarkan sejak medio lima puluhan adalah ilmu ekonomi yang keliru dan tak bermoral, yang tidak memihak pada rakyat miskin kita. Adalah panggilan sosial dan panggilan moral kita pakar-pakar ekonomi untuk berubah, dan mengoreksi diri menjadi pejuang-pejuang yang harus mampu bekerja keras mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tujuan akhir ideologi dan dasar NKRI yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.
Penutup
Krisis moneter (krismon) yang setelah hampir 7 tahun belum juga terselesaikan harus memaksa pakar-pakar ekonomi Indonesia berpikir keras “tidakkah ada yang salah dalam pemikiran ekonomi para teknokrat kita, yang pada awal Orde Baru telah menjadi pahlawan-pahlawan pembangunan ekonomi Indonesia?”
Salah satu kekeliruan fatal adalah kelalaian telah mengabaikan ideologi Pancasila, khususnya nasionalisme. Jika mereka menganut ajaran ekonomi Barat secara konsekuen bahwa “the very nature of economics is rooted in nationalism”, kiranya cukup aneh mereka dengan sadar mengabaikannya.
In the mids of all the confusion, there is one solid unchanging lump of ideology that we take so much for granted that it is rarely noticed –that is nationalism.
The hard-headed classicals made no bone about it. They were arguing against the narrow nationalism of Mercantilists in favour of a more far-sighted policy, but they were in favor of Free Trade because it was good for Great Britain, not because it was good for the world (Joan Robinson, 1993: 167).
Ilmu ekonomi yang kita ajarkan kepada mahasiswa kita (bahkan sejak di sekolah-sekolah lanjutan) harus yang nasionalistik, bermoral, dan berasas kerakyatan, dan harus mampu mengarahkan pemikiran ekonomi anak-anak muda kita pada upaya-upaya mewujudkan keadilan sosial. Kemiskinan adalah salah satu bentuk ketidakadilan sosial yang harus kita berantas sampai ke akar-akarnya.
Adalah dosa besar dan merupakan pengkhianatan pada para pendiri negara jika kita para ekonom sekedar menjadi jurubicara dan penyebar ajaran-ajaran sesat ekonomi kapitalis-neoliberal.
Economics typically are mouthpieces of capitalism and since the capitalists are not yet seriously interested in reforming their economic system and way of life in rational, ecological directions –which would also bring social and economic justice– the economists are not interested in reforming their theory. (O’connor dalam Ravaioli 1995: 128)
Traditional economics has many faults, in particular its lack of interest in the unequal distribution between rich and poor, and its kidding itself it can solve social injustices through the market (Martinez-Alien dalam Ravaioli, 1995: 129)
Economics should be the science of the whole sociey, in all its manifestations and fields of action (Georgesc-Roegen dalam Ravaioli, 1995: 128)
2 Maret 2004
Grameen Bank : Sixteen Decisions
1. The four principles of Grameen Bank-discipline, unity, courage, and hard work –we shall follow and advance in all walks of our lives.
2. We shall bring prosperity to our families.
3. We shall not live in dilapidated house. We shall repair houses and work towards constructing new houses as soon as possible.
4. We shall grow vegetables all the year round. We shall eat plenty of them and sell the surplus.
5. During the planting seasons, we shall plant as many seedlings as possible
6. We shall plan to keep our families small. We shall minimize our expenditures. We shall look after our health.
7. We shall educate our children and ensure that they can earn enough to pay for their education.
8. We shall always keep our children and the environment clean.
9. We shall build and use pit latrines.
10. We shall boil water before drinking or use alum to purify it. We shall use pitcher filter to remove arsenic.
11. We shall not take any dowry in our sons’ weddings; neither shall we give any dowry in our daughter weddings. We shall keep the center free from the curse of dowry. We shall not practice child marriage.
12. We shall not inflict any injustice on anyone; neither shall we allow anyone to do so
13. For higher income we shall collectively undertake bigger investments
14. We shall always be ready to help each other. If anyone is in difficulty, we shall all help.
15. If we come to know of any branch of discipline in any center, we shall all go there and help restore discipline.
16. We shall take part in all social activities collectively.
Oleh: Prof. Dr. Mubyarto -- Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila (PUSTEP) UGM.
Daftar Pustaka
Bresnan, John, 1993, Managing Indonesia: The Modern Political Economy, Columbia University Press, New York.
Etzioni, Amitai, 1988, The Moral Dimension: Toward A New Economics, MacMillan Inc., London.
Mubyarto, 1982, Moral Ekonomi Pancasila, Yayasan Idayu, Jakarta.
_________, Daniel W. Bromley, 2002, A Development Alternative for Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
_________, 2003, Globalisasi, Agama, dan Ekonomika Etik, Pidato Milad ke-43 Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta.
_________, 2003, Tanggung Jawab Sosial Teknokrat dalam Mewujudkan Ekonomi Pancasila, Pidato Dies Natalis XVII Universitas Wangsa Manggala, Yogyakarta.
_________, 2003, Menuju Sistem Ekonomi Pancasila: Reformasi atau Revolusi, Makalah Seminar “Meluruskan Jalan Reformasi”, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
_________, 2003, Ekonomi Pancasila: Renungan Satu Tahun PUSTEP-UGM, Aditya Media, Yogyakarta.
_________, 2004, Pendidikan Ekonomi Kita, Aditya Media, Yogyakarta.
Nelson, Robert H., 2001, Economics as Religion, Pennsylvania State University Press, Pennsylvania.
Ravaioli, Carla, 1995, Economists and The Environment: What the Top Economists Say About The Environment, Zed Books, London & New Jersey.
Swasono, Sri-Edi, 2003, Ekspose Ekonomika: Globalisme dan Kompetensi Sarjana Ekonomi, PUSTEP-UGM, Yogyakarta.
Yunus, Muhammad, 1993, Alleviation of Poverty is a Matter of Will, not of Means, Packages Corporation Limited, Cittagong, Bangladesh.
_________, 2002, Grameen Bank II: Designed to Open New Possibilities, Packages Corporation Limited, Cittagong, Bangladesh.
_________, 2003, Halving Poverty by 2015: We Can Actually Make It Happen, Packages Corporation Limited, Cittagong, Bangladesh.
_________, 2003, Some Suggestions on Legal Framework for Creating Microcredit Banks, Packages Corporation Limited, Cittagong, Bangladesh.
_________, 2003, Expanding Microcredit Outreach to Reach the Millennium Development Goal –Some Issues for Attention, Packages Corporation Limited, Cittagong, Bangladesh.
_________, 2004, Grameen Bank at A Glance, Packages Corporation Limited, Cittagong, Bangladesh.
MEMBANGKITKAN EKONOMI KERAKYATAN MELALUI GERAKAN KOPERASI; Bag II
[Artikel - Th. I - No. 6 - Agustus 2002]
Prof. Mubyarto
MEMBANGKITKAN EKONOMI KERAKYATAN MELALUI GERAKAN KOPERASI: PERAN PERGURUAN TINGGI
IV . Peranan Ilmu Ekonomi
si ajaran ekonomi Neoklasik merupakan sintesa teori ekonomi pasar persaingan bebas Klasik (Homo ekonomikus dan invisible hand Adam Smith), dan ajaran marginal utility dan keseimbangan umum Neoklasik. Tekanan ajaran ekonomi Neoklasik adalah bahwa mekanisme pasar persaingan bebas, dengan asumsi-asumsi tertentu, selalu menuju keseimbangan dan efisiensi optimal yang baik bagi semua orang.
Artinya jika pasar dibiarkan bebas, tidak diganggu oleh aturan-aturan pemerintah yang bertujuan baik sekalipun, masyarakat secara keseluruhan akan mencapai kesejahteraan bersama yang optimal (Pareto Optimal)
Dan BAPPENAS yang ditugasi merancang dan mengendalikan pembangunan nasional selalu diketuai pakar ekonomi, kecuali sejak tahun 1993 yang pimpinannya dipercayakan pada 2 Insinyur. Bagi sementara orang, krismon tahun 1997 yang tidak diduga datangnya justru disebabkan antara lain karena kepemimpinan tim ekonomi pemerintah tidak lagi dipegang ekonom “profesional”.
Dan strategi yang “keliru” ini diterapkan karena ekonom (teknokrat ekonomi) memperoleh kepercayaan berlebihan dalam penyusunan strategi pembangunan. Terhadap kesimpulan terakhir para teknokrat banyak yang keberatan karena menurut mereka ajaran dan nasihat-nasihat yang mereka berikan tidak pernah salah. Yang salah adalah pelaksanannya, bukan teorinya, lebih-lebih jika diingat bahwa krismon terjadi setelah tim ekonomi pemerintah semakin dikuasai oleh non-ekonom, khususnya di BAPPENAS.
Menggugat Ajaran Ekonomi Neoklasik
Pada tahun 1979 dalam pidato pengukuhan Guru Besar di Universitas Gadjah Mada, kami secara eksplisit menyatakan bahwa teori ekonomi Neoklasik bermanfaat untuk menumbuhkan perekonomian tetapi tidak menolong untuk mengadakan pemerataan dan mewujudkan keadilan.
Selanjutnya mengikuti ajaran Joan Robinson (1962), yang menekankan bahwa ilmu ekonomi membahas sistem ekonomi, bukan tentang ahli-ahli ekonomi, maka dalam buku Membangunan Sistem Ekonomi (BPFE, 2000), kami lebih spesifik lagi menunjukkkan bahwa ideologi Pancasila yang telah diterima sebagai ideologi bangsa Indonesia harus, mau tidak mau, dijadikan landasan sistem ekonomi nasional. Maka sistem ekonomi Indonesia adalah, tidak lain, Sistem Ekonomi Pancasila.
1. Austrian Economics, yang menerima banyak ajaran ekonomi Neoklasik kecuali konsep keseimbangan.
2. Post Keynesian Economics, yang sangat kritis terhadap ajaran Neoklasik dan menekankan pada pentingnya ketidakpastian.
3. Sraffian Economics, mendasarkan pada konsep produksi komoditi oleh komoditi.
4. Complexity Theory, yang menerapkan konsep dinamika non linear dan teori kekacauan terhadap isu-isu ekonomi.
5. Evolutionary Economics, yang memperlakukan perekonomian sebagai sistem evolusi ala Darwin.
Ekonomi kelembagaan ala John Commons menunjukkan betapa teori ekonomi bisa sangat relevan untuk memecahkan masalah-masalah sosial yang secara nyata dihadapi masyarakat pada waktu dan tempat tertentu, dan sebaliknya bisa terasa begitu aneh dan mandul pada waktu dan tempat lain sebagaimana dirasakan 4-5 tahun terakhir di Indonsia.
Jika keberhasilan pembangunan ekonomi Indonesia sering dikatakan karena para teknokrat (ekonom) telah secara cerdas menerapkan terori ekonomi Neoklasik, maka krismon tentunya tidak mungkin melanda Indonesia yang memiliki fundamental ekonomi kuat seperti inflasi rendah, cadangan devisa kuat, dan pertumbuhan ekonomi tinggi.
Sesungguhnya kasus Indonesia menunjukkan kelemahan teori ekonomi neoklasik yang tidak mampu memberikan peringatan dini akan ancaman bahaya krismon padahal sejumlah ilmuwan sosial lain khususnya sosiolog dan anthropolog sudah berulang kali mengingatkannya.
Kami sendiri pada tahun 1981 menulis artikel “keras” yang mengingatkan bahaya “penyakit kanker” yang sudah menyerang ekonomi Indonesia, tetapi dianggap para ekonom Neoklasik sebagai dagelan yang tidak lucu atau teori ekonomi yang “ngawur”. Demikian pada editorial majalah “Business News” (4 Agustus 1984) pandangan kami tentang “Ekonomi Pancasila” diputar balik dan dianggap “menolak pertumbuhan”, sehingga “tidak laku di Jakarta”.
Bersambung.
Sumber Gambar:
Politikana
Senin, 05 Oktober 2009
MEMBANGKITKAN EKONOMI KERAKYATAN MELALUI GERAKAN KOPERASI Bag I
[Artikel - Th. I - No. 6 - Agustus 2002]
Prof. Mubyarto
MEMBANGKITKAN EKONOMI KERAKYATAN MELALUI GERAKAN KOPERASI: PERAN PERGURUAN TINGGI
I. Pendahuluan
(1) Pendidikan dan Pengajaran;
(2) Penelitian; dan
(3) Pengabdian pada Masyarakat, UGM juga merupakan lembaga (untuk membantu) perjuangan bangsa Indonesia mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur dengan asas kerakyatan (demokrasi ekonomi). Dalam pengertian kerakyatan/demokrasi ekonomi, produksi (dan distribusi) dikerjakan oleh semua warga masyarakat dibawah pimpinan dan pengawasan anggota masyarakat. Kerakyatan adalah demokrasi sesuai budaya Indonesia dan sebagai sila ke-4 Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Namun jika pendapat demikian diterima, bahwa ekonomi kerakyatan merupakan konsep baru yang “mereaksi” konsep ekonomi kapitalis liberal yang dijadikan pegangan era ekonomisme Orde Baru, yang kemudian terjadi adalah “reaksi kembali” khususnya dari pakar-pakar ekonomi arus utama yang menganggap “tak ada yang salah dengan sistem ekonomi Orde Baru”.
Strategi dan kebijakan ekonomi Orde Baru mampu mengangkat perekonomian Indonesia dari peringkat negara miskin menjadi negara berpendapatan menengah melalui pertuumbuhan ekonomi tinggi (7% pertahun) selama 3 dasawarsa. “Yang salah adalah praktek pelaksanaannya bukan teorinya”.
II . KOSUDGAMA Membangkitkan Ekonomi Kerakyatan
Pertama, kesungguhan kerja pengurus dan staf serta kesetiaan mereka pada prinsip-prinsip berkoperasi, yaitu bekerjasama dengan ikhlas dan jujur demi kepentingan anggota. Prinsip kerja koperasi untuk melayani dan sekaligus memperjuangkan kepentingan ekonomi anggota adalah penting sekali, dan keberhasilannya merupakan ukuran utama misi organisasi.
Kedua, Kosudgama adalah koperasi perkumpulan orang, bukan organisasi yang dibentuk terutama untuk menghimpun modal. Ketika Kosudgama berdiri tahun 1982 tujuan utama koperasi yang diperjuangkan pengurus adalah mengadakan rumah bagi dosen-dosen muda yang sangat membutuhkan, dan membeli buku-buku ajar (textbook) yang relatif mahal dari luar negeri.
Jadi tidak seperti sebuah PT (Perseroan Terbatas) yang mengumpulkan modal saham dari anggota kemudian mencari usaha-usaha yang menguntungkan, koperasi mengenali kebutuhan urgen anggota yang kemudian dibantu untuk memenuhinya.
III . Koperasi Wadah Ekonomi Rakyat
Ekonomi Rakyat adalah usaha ekonomi yang tegas-tegas tidak mengejar keuntungan tunai, tetapi dilaksanakan untuk (sekedar) memperoleh pendapatan bagi pemenuhan kebutuhan keluarga secara langsung untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, dan kebutuhan-kebutuhan keluarga lain dalam arti luas, yang semuanya mendesak dipenuhi dalam rangka pelaksanaan pekerjaan pokok anggota.
Teori-teori ekonomi mikro maupun makro dipelajari secara deduktif tanpa upaya menggali data-data empirik untuk mencocokkannya. Karena contoh-contoh hampir semuanya berasal dari Amerika dengan ukuran-ukuran relatif besar, maka mereka dengan mudah menyatakan ekonomi rakyat tidak ada dan tidak ditemukan di buku-buku teks Amerika.
Misalnya Menteri Pertanian yang memperoleh gelar Doktor Ekonomi Pertanian dari Amerika Serikat dengan yakin menyatakan bahwa “Farming is business”, meskipun tanpa disadari yang dimaksud adalah”Farming (in America) is business”, sedangkan di Indonesia harus dicatat tidak semuaya dapat dikategorikan sebagai bisnis tetapi “way of life”, kegiatan hidup sehari-hari yang sama sekali bukan kegiatan bisnis yang mengejar untung.
Maka kita patut berterimakasih pada Anne Booth penulis buku The Indonesian Economy in the Nineteenth and Twentieth Century: A History of Missed Opportunity (Macmillan & St. Martin’s, 1998) dan Howard Dick dkk., The Emergence of A National Economy (Allen & Unwin & U-Hawaii, 2002). Kedua buku ditulis dalam rangka lebih memahami ekonomi Indonesia modern sejak Indonesia Merdeka 1945.
Karena tidak ada buku-buku sejarah ekonomi Indonesia, pakar-pakar ilmu sosial Indonesia termasuk pakar ekonomi tidak mempunyai referensi dalam menerangkan fenomena-fenomena ekonomi dan sosial masa kini dan dengan demikian juga tidak dapat memperkirakan akar-akar sejarah permasalahan sosial ekonomi dewasa ini. Dalam kondisi demikian banyak diantara mereka menggunakan referensi sejarah ekonomi negara-negara lain yang dianggap relevan, padahal barangkali mereka sadar referensi tersebut banyak yang tidak relevan.
Mata kuliah Ekonomi Indonesia ini oleh konsorsium Ilmu Ekonomi di Direktoral Jenderal Pendidikan Tinggi telah diubah menjadi Perekonomian Indonesia, yang tentu saja sekedar membicarakan fenomena-fenomena dan bekerjanya perekonomian Indonesia Modern, terutama sejak tahun 1966 (Masa Orde Baru). Penulis buku ini yang mengampu kuliah ekonomi Indonesia selama 20 tahun terakhir, tetap menyebutnya sebagai Ekonomi Indonesia, dan mengisinya dengan sejarah perekonomian Indonesia (sejak masa penjajahan) dan sejarah pemikiran ekonomi Indonesia.
Disamping itu dibahas pula sistem ekonomi Indonesia dengan memberikan perhatian dan penelusuran deskriptif dan analitis pada sejarah sistem ekonomi sejak sistem ekonomi monopolistik ala VOC (1600 – 1800), sistem ekonomi komando ala Tanam Paksa (1830 – 1870), dan sistem ekonomi kapitalis liberal sejak 1870. Salah satu buku penulis yang dipakai sebagai buku teks Ekonomi Indonesia berjudul Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia (LP3ES, 1988) dan Membangun Sistem Ekonomi (BPFE, 2000).
Perkembangan sistem pasar di Indonesia tidak pernah mulus karena selalu tertekan oleh “sistem ekonomi” yang diterapkan di Indonesia sebagai “negara jajahan”. Pada 200 tahun pertama masa kolonialisme (1600 – 1800), persatuan Pedagang Belanda (VOC) menerapkan sistem monopoli (monopsoni) dalam membeli komoditi-komoditi perdagangan seperti rempah-rempah (lada dan pala, cengkeh, kopi dan gula), sehingga harganya tertekan karena ditetapkan sepihak oleh VOC.
Meskipun VOC tidak sama dengan pemerintah penjajah Belanda, tetapi petani Indonesia merasa VOC mempunyai kekuasaan dan daya-paksa seperti pemerintah juga karena VOC mempunyai aparat “pemerintahan”, bahkan memiliki tentara. Itulah sebabnya Companie diucapkan orang Indonesia sebagai kumpeni yang tidak lain berarti “tentara” yang dapat memaksa-maksa petani menyerahkan komoditi perdagangannya yang “dipaksa beli” oleh VOC. Selanjutnya setelah VOC bubar (bangkrut tahun 1799), pemerintah penjajah Belanda tidak segera menemukan cara-cara tepat untuk mengekploitasi Indonesia, bahkan pemerintah ini terhenti sementara (1811-1816) karena penguasaan atas Indonesia diambil alih oleh Inggris pada saat Belanda di duduki Jerman, dan pemerintah Belanda mengungsi ke Inggris.
Letnan Gubernur Thomas Robert Raffles memperkenalkan sistem sewa tanah untuk mengefisienkan tanah jajahan. Sistem sewa tanah ini tidak segera diambil alih pemerintah penjajah Belanda setelah Indonesia (Hindia Belanda ) diserahkan kembali kepada Belanda.
Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada jaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya pada harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Maka tidak ada perkembangan yang bebas dari sistem pasar.
Tanam Paksa adalah sistem ekonomi yang merupakan noda hitam bagi sejarah penjajahan Belanda di Indonesia, meskipun bagi pemerintah Belanda dianggap berhasil karena memberikan sumbangan besar bagi kas pemerintah. Selama sistem tanam paksa kas pemerintah jajahan Belanda mengalami surplus (batig slot). Sistem tanam paksa yang kejam ini setelah mendapat protes keras dari berbagai kalangan di Belanda dihapus pada tahun 1870, meskipun untuk tanaman kopi diluar Jawa masih terus berlangsung sampai 1915.
Akhirnya sistem ekonomi ke-3 dan terakhir pada jaman penjajahan yang berlangsung sampai Indonesia merdeka adalah sistem ekonomi kapitalis liberal, yang pelaku penentu utamanya bukan lagi pemerintah tetapi pengusaha swasta, sedangkan pemerintah sekedar sebagai penjaga dan pengawas melalui peraturan-peraturan per-undang-undangan.
Undang-undang pertama yang menandai sistem baru ini adalah UU Agraria tahun 1870, yang memperbolehkan perusahaan-perusahaan perkebunan swasta menyewa lahan-lahan yang luas untuk jangka waktu sampai 75-99 tahun, untuk ditanami tanaman keras seperti karet, teh, kopi, kelapa sawit, atau untuk tanaman semusim seperti tebu dan tembakau dalam bentuk sewa jangka pendek. Pada saat tanaman-tanaman perdagangan ini mulai dikembangkan, di beberapa daerah rakyat sudah lebih dulu menanaminya, sehingga terjadi persaingan antara perkebunan-perkebunan besar dengan perkebunan-perkebunan rakyat.
Dalam persaingan antara dua sub-sistem perkebunan inilah mulai muncul masalah peranan yang tepat dan adil dari pemerintah. Di satu pihak pemerintah ingin agar perusahaan-perusahaan swasta memperoleh untung besar sehingga pemerintah mendapat bagian keuntungan berupa pajak-pajak perseroan atau pajak pendapatan dari staf dan karyawan. Tetapi di pihak lain penduduk pribumi yaitu pekebun-pekebun kecil (perkebunan rakyat) yang sebelumnya sudah mengembangkan tanaman-tanaman ini “tidak boleh dirugikan” terutama dalam pemasaran hasilnya.
Terutama dalam produksi dan pemasaran karet persaingan segera timbul, dan pemerintah yang tentunya berkepentingan meningkatkan kemakmuran rakyat tidak boleh membiarkan merosotnya kemakmuran rakyat ini, sehingga harus terus menerus mengawasi hubungan antara keduanya. Misalnya pada saat harga karet jatuh pada awal tahun 1920-an ada usulan pembatasan produksi karet (Stevensen Restriction Scheme) dari pemerintah penjajahan Inggris di Malaya yang tidak disambut baik oleh pemerintah Hindia Belanda. Perkebunan karet rakyat memiliki daya tahan jauh lebih kuat menghadapi krisis ketimbang perusahaan-perusahaan perkebunan swasta besar.
Pertanian dan perkebunan rakyat dengan pemilikan lahan yang sempit, dengan teknologi sederhana dan modal seadanya, sulit berkembang karena merupakan usaha-usaha subsisten. Sebaliknya pertanian dan terutama perkebunan besar yang luasnya puluhan atau ratusan ribu hektar yang menggunakan teknologi unggul dan modal besar dalam memproduksi komoditi ekspor (karet, teh, kelapa sawit, tebu dan tembakau), tidak tertarik bekerjasama dengan usaha-usaha ekonomi rakyat.
Mereka, perkebunan besar, bahkan khawatir rakyat “menyaingi” hasil-hasil perkebuan besar karena hasil-hasil perkebunan rakyat dapat jauh lebih murah meskipun mungkin mutunya tidak tinggi. Demikian karena ekonomi rakyat merupakan kegiatan penduduk pribumi dan usaha-usaha besar merupakan milik pengusaha-pengusaha Belanda atau pengusaha asing lain dari Eropa, maka para pemimpin pergerakan seperti Hatta, Syahrir, dan Soekarno, selalu memihak pada ekonomi rakyat dan berusaha membantu dan memikirkan upaya-upaya untuk memajukannya.
Maka Hatta berkali-kali menulis di Daulat Rakyat tentang bahaya-bahaya yang mengancam ekonomi rakyat dan bagaimana ekonomi rakyat harus bersatu atau mempersatukan diri dalam organisasi koperasi sebagai bangun usaha yang sesuai dengan asas kekeluargaaan.
Hanya dalam asas kekeluargaan dapat diwujudkan prinsip demokrasi ekonomi yaitu produksi dikerjakan oleh semua, dan untuk semua, sedangkan pengelolaannya dipimpin dan diawasi anggota-anggota masyarakat sendiri. Inilah yang kemudian dijadikan pedoman umum penyusunan sistem ekonomi Indonesia sebagai usaha bersama yang berasaskan kekeluargan sebagaimana tercantum sebagai pasal 33 UUD 1945.
(Howard Dick et. al, 2002:138).
Pada tahun 1975 pemerintah yang mulai pusing mengelola industri gula di Jawa membuat putusan mengagetkan dengan Inpres No. 9/1975 tentang Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) yang melarang pabrik-pabrik gula (pemerintah maupun swasta ) menyewa lahan milik petani. Semua tanah sawah dan tanah kering harus ditanami tebu rakyat karena tanaman rakyat dianggap lebih unggul khususnya secara ekonomis dibanding tanaman perkebunan besar/pabrik, dan yang paling penting pemerintah ingin menghilangkan konflik-konflik yang selalu terjadi antara pabrik-pabrik gula dan rakyat pemilik tanah.
Kebijaksanaan TRI ini gagal total karena mengabaikan kenyataan pemilikan tanah rakyat yang sudah sangat sempit, yang mempunyai pilihan (alternatif) untuk ditanami padi. Karena tebu sebagai bahan baku untuk gula harganya ditetapkan pemerintah, sedangkan untuk padi tidak, maka di mana pun petani memilih menanam padi. Akibatnya tujuan untuk menaikkan produksi dan produktivitas tebu tidak tercapai (produksi gula merosot), dan Inpres TRI ini dicabut pada tahun 1998 setelah sangat terlambat, dan membuat kerusakan besar pada industri gula di Jawa. Dewasa ini industri gula di Jawa termasuk salah satu industri yang paling sakit di Indonesia.
Bersambung