[Artikel - Th. I - No. 2 - April 2002]
Mubyarto
ETIKA, AGAMA, DAN SISTEM EKONOMI
I. ETIKA
Jika ilmu ekonomi modern cenderung memisahkan ajaran efisiensi dari ajaran etika yaitu ajaran benar-salah, atau ajaran adil-tidak adil, maka ekonomika etik(ethical economics) memaksakan penyatuan keduanya sebagaimana diteliti mendalam oleh Max Weber.
By economic ethic he meant, as he did in his first study (The Protestant Ethic), not ethical and theological theories but the practical impulses toward action that derive from religion.1)
1) Swedberg.R, Max Weber and the Idea of Economic Sociology, p. 134
Teresa Lunati dalam buku Ethical Issues in Economics (Macmillan, 1997) secara lugas membedakan economic man vs ethical man, Neoclassical firms vs ethical firms, dan Neoclassical markets vs ethical markets sebagai berikut: 2)
2) M Teresa Lunati, Ethical Issues in Economics. pp. 139 - 143
Moral values and norms such as altruism, cooperation, solidarity, trust, honesty, truth – telling, obligation, duty, commitment, fairness, equality, are the main values of ethical man, of ethical firms, and ethical markets.
Kaitan erat antara etika dan sistem ekonomi menjadi makin jelas terlihat melalui peranan idiologi, untuk memberi dan sebagai pembenaran (justification) dari sistem ekonomi yang diterapkan.
The pre-reguisites for an economic system is a set of rules, an idelogy to justify them, and a conscience in individual which makes him strife to carry them out. 3)
3) Joan Robinson, Economic Philosopy 1962 op. cit. hal 13; Mubyarto, Amandemen Konstitusi dan Pergulatan Pakar Ekonomi, Aditya Media, 2001, h. 35
Di Indonesia jika Pancasila kita terima sebagai ideologi bangsa maka sistem ekonomi nasional tentu mengacu pada Pancasila, baik secara utuh (gotong royong, kekeluargaan) maupun mengacu pada setiap Silanya:
-
Ke-Tuhanan Yang Maha Esa: Perilaku setiap warga Negara digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan moral;
-
Kemanusiaan yang adil dan beradab: Ada tekad seluruh bangsa untuk mewujudkan kemerataan nasional;
-
Persatuan Indonesia: Nasionalisme ekonomi;
-
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan: Demokrasi Ekonomi;dan
-
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia: Desentralisasi dan Otonomi Daerah.
Economic Ethic is “The practical impulses for (economic) action which are founded in the psychological and pragmatic contexts of religion.” 4)
4) Sivedberg R, idem hal 134
Kemampuan Ilmu Ekonomi Neoklasik ala Paul Samuelson menguasai pemikiran ekonomi dunia adalah karena penyebarannya menggunakan metode-metode agama.
Samuelson migt be judged a large scientific failure and a great religious and economic success.5)
Beneath the surface of their economic theorizing, economist are engaged in an act of religious messages. Correctly understood these messages are seem to be promises of the true path to a salvation in this world to a new heaven on earth. 6)
5) Robert H. Nelson, Economics as Religion. Pensylvania, UP. 2001 op. cit h
6) Robert H. Nelson, Economics as Religion. Pensylvania, UP. 2001 op. cit hal 20
Pada masa orde Baru, Pancasila pernah hampir menyaingi agama d.h.i agama Islam, sehingga TAP tentang P4 tahun 1978 diprotes oleh sejumlah partai-partai Islam. Namun pada akhir orde baru terbukti ”Sistem Ekonomi Pancasila” gagal diterima dan masyarakat malah berbalik merasa ”alergi” menggunakan istilah Pancasila sebagai acuan sistem ekonomi, dan acuan itu digeserkan ke Sistem Ekonomi Kerakyatan.
II. AGAMA
Buku Max Weber The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism (1904-5) menggambarkan hubungan erat antara (ajaran-ajaran) agama dan etika kerja, atau antara penerapan ajaran agama dengan pembangunan ekonomi. Weber mulai dengan analisis ajaran agama Kristen Protestan, dan menjelang akhir hayatnya dibahas pula (sosiologi) agama Cina (1915, Taoisme dan Confucianisme), India (1916, Hindu dan Budha), dan Yudaisme (1917).
Yang menarik, meskipun Weber merumuskan kesimpulannya setelah mempelajari secara mendalam ajaran-ajaran agama besar di dunia ini, namun berulang kali dijumpai kontradiksi-kontradiksi.
The church did influence people’s attitudes toward the economy but mostly in a negative manner because the economic mentality it furthered was essentially traditionalistic. The church like hierocracy more generally has casually encouraged a ”non-capitalistic and partly anti-capitalistic” (mentality) 7)
7) Swedberg, Richard, Max Weber and The Idea of Economic Sociology. Prienceton UP, 1998, up at 112
Dalam ekonomi Islam etika agama kuat sekali melandasi hukum-hukumnya. Namun juga disini banyak keberhasilan ekonomi malahan didasarkan pada penyimpangan ajaran-ajarannya. Maka terkuaklah ”rahasia” kontradiksi. Kapitalisme berhasil di kalangan umat Kristen karena perintah-perintah agama dikesampingkan, dan sebaliknya umat Islam miskin karena banyak firman Allah ditinggalkan.
Etika dan Perilaku Ekonomi. Etika sebagai ajaran baik-buruk, benar-salah, atau ajaran tentang moral khususnya dalam perilaku dan tindakan-tindakan ekonomi, bersumber terutama dari ajaran agama. Itulah sebabnya banyak ajaran dan paham dalam ekonomi Barat menunjuk pada kitab Injil (Bible), dan etika ekonomi Yahudi banyak menunjuk pada Taurat. Demikian pula etika ekonomi Islam termuat dalam lebih dari seperlima ayat-ayat yang dimuat dalam Al-Quran. Namun jika etika agama Kristen-Protestan telah melahirkan semangat (spirit) kapitalisme, maka etika agama Islam tidak mengarah pada Kapitalisme maupun Sosialisme. Jika Kapitalisme menonjolkan sifat individualisme dari manusia, dan Sosialisme pada kolektivisme, maka Islam menekankan empat sifat sekaligus yaitu:
-
Kesatuan (unity)
-
Keseimbangan (equilibrium)
-
Kebebasan (free will)
-
Tanggungjawab (responsibility)
Manusia sebagai wakil (kalifah)Tuhan di dunia tidak mungkin bersifat individualistik karena semua (kekayaan) yang ada di bumi adalah milik Allah semata, dan manusia adalah kepercayaannya di bumi.
Sistem Ekonomi Islam. Sistem ekonomi Islam berbeda dari Kapitalisme,Sosialisme, maupun Negara Kesejahteraan (Welfare State). Berbeda dari Kapitalisme karena Islam menentang eksploitasi oleh pemilik modal terhadap buruh yang miskin, dan melarang penumpukan kekayaan. ”Kecelakaanlah bagi setiap … yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung” (104-2). Orang miskin dalam Islam tidak dihujat sebagai kelompok yang malas dan yang tidak suka menabung atau berinvestasi. Ajaran Islam yang paling nyata menjunjung tinggi upaya pemerataan untuk mewujudkan keadilan sosial, ”jangan sampai kekayaan hanya beredar dikalangan orang-orang kaya saja diantara kamu” (59:7).
Disejajarkan dengan Sosialisme, Islam berbeda dalam hal kekuasaan negara, yang dalam Sosialisme sangat kuat dan menentukan. Kebebasan perorangan yang dinilai tinggi dalam Islam jelas bertentangan dengan ajaran Sosialisme.
Akhirnya ajaran Ekonomi Kesejahteraan (Welfare State), yang berada di tengah-tengah antara Kapitalisme dan Sosialisme, memang lebih dekat ke ajaran Islam. Bedanya hanyalah bahwa dalam Islam etika benar-benar dijadikan pedoman perilaku ekonomi sedangkan dalam Welfare State tidak demikian, karena etika Welfare State adalah sekuler yang tidak mengarahkan pada ”integrasi vertikal” antara aspirasi materi dan spiritual (Naqvi,h80)
Demikian dapat disimpulkan bahwa dalam Islam pemenuhan kebutuhan materiil dan spiritual benar-benar dijaga keseimbangannya, dan pengaturan oleh negara, meskipun ada, tidak akan bersifat otoriter.
State intervention, directed primarily at reconciling the possible social conflict between man’s ethical and economic behavior cannot lead the society onto “road to serfdom” but will guide it gently along the road to human freedom and dignity (Naqvi,1951.h81)
Etika Bisnis. Karena etika dijadikan pedoman dalam kegiatan ekonomi dan bisnis, maka etika bisnis menurut ajaran Islam juga dapat digali langsung dari Al Qur’an dan Hadist Nabi. Misalnya karena adanya larangan riba, maka pemilik modal selalu terlibat langsung dan bertanggung jawab terhadap jalannya perusahaan miliknya, bahkan terhadap buruh yang dipekerjakannya. Perusahaan dalam sistem ekonomi Islam adalah perusahaan keluarga bukan Perseroan Terbatas yang pemegang sahamnya dapat menyerahkan pengelolaan perusahaan begitu saja pada Direktur atau manager yang digaji. Memang dalam sistem yang demikian tidak ada perusahaan yang menjadi sangat besar, seperti di dunia kapitalis Barat, tetapi juga tidak ada perusahaan yang tiba-tiba bangkrut atau dibangkrutkan.
Etika Bisnis Islam menjunjung tinggi semangat saling percaya, kejujuran, dan keadilan, sedangkan antara pemilik perusahaan dan karyawan berkembang semangat kekeluargaan (brotherhood). Misalnya dalam perusahaan yang Islami gaji karyawan dapat diturunkan jika perusahaan benar-benar merugi dan karyawan juga mendapat bonus jika keuntungan perusahaan meningkat. Buruh muda yang masih tinggal bersama orang tua dapat dibayar lebih rendah, sedangkan yang sudah berkeluarga dan punya anak dapat dibayar lebih tinggi dibanding rekan-rekannya yang muda. 8)
8) Rodney Wilson, Economics, Ethics and Religion, Macmillan, 1997. h. 211
Ekonomi Pancasila. Sistem Ekonomi Islam yang dijiwai ajaran-ajaran agama Islam memang dapat diamati berjalan dalam masyarakat-masyarakat kecil di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Namun dalam perekonomian yang sudah mengglobal dengan persaingan terbuka, bisnis Islam sering terpaksa menerapkan praktek-praktek bisnis yang non Islami. Misalnya, perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas yang memisahkan kepemilikan dan pengelolaan, dalam proses meningkatkan modal melalui pasar modal (Bursa Efek), sering terpaksa menerima asas-asas sistem kapitalisme yang tidak Islami.
Di Indonesia, meskipun Islam merupakan agama mayoritas, sistem ekonomi Islam secara penuh sulit diterapkan, tetapi Sistem Ekonomi Pancasila yang dapat mencakup warga non Islam kiranya dapat dikembangkan. Merujuk sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, Sistem Ekonomi Pancasila menekankan pada moral Pancasila yang menjunjung tinggi asas keadilan ekonomi dan keadilan sosial seperti halnya sistem ekonomi Islam. Tujuan Sistem Ekonomi Pancasila maupun sistem ekonomi Islam adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang diwujudkan melalui dasar-dasar kemanusiaan dengan cara-cara yang nasionalistik dan demokratis.
Penutup. Ajaran agama Islam dalam perilaku ekonomi manusia dan bisnis Indonesia makin mendesak penerapannya bukan saja karena mayoritas bangsa Indonesia beragama Islam, tetapi karena makin jelas ajaran moral ini sangat sering tidak dipatuhi. Dengan perkataan lain penyimpangan demi penyimpangan dalam Islam jelas merupakan sumber berbagai permasalahan ekonomi nasional.
Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tentram, rezkinya datang melimpah ruah dari segenap tempat, tertapi (penduduknya) mengingkari nikmat-nikmat Allah, karena itu Allah merasakan kepada mereka kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat (An Nahl, 16:112).
Dapatkah kiranya ”perumpamaan” ini tidak dianggap sekedar perumpamaan? Jika tidak, firman Allah lain perlu dicamkan benar-benar.
Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. (Al Israa, 17:16)
III. SISTEM EKONOMI INDONESIA
Apabila ada keberatan dipakainya kata-kata Islam atau Pancasila untuk sistem ekonomi yang kita anggap tepat bagi Indonesia, barangkali yang paling masuk akal adalah menamakannya dengan Sistem Ekonomi Indonesia, mengacu pada kesepakatan Sumpah Pemuda 1928.
Sistem Ekonomi Indonesia adalah aturan main yang mengatur seluruh warga bangsa untuk bertunduk pada pembatasan-pembatasan perilaku sosial-ekonomi setiap orang demi tercapainya tujuan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Aturan main perekonomian Indonesia berasas kekeluargaan dan berdasarkan demokrasi ekonomi, yaitu produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan dan penilikan anggota-anggota masyarakat. Dalam Sistem Ekonomi Indonesia yang demokratis kemakmuran masyarakat lebih diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Setiap warga negara berhak memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, sehingga dapat dihindari kondisi kefakiran dan kemiskinan.
Prof. Dr. Mubyarto : Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM dan Ketua Yayasan Agro Ekonomika
Makalah disampaikan pada Pertemuan III Seminar Pendalaman Ekonomi Rakyat, YAE-Bina Swadaya, di Financial Club, Jakarta, 19 Februari 2002.
Daftar Pustaka
Lunati, M. Teresa, Ethical Issues in Economics, from Altruism to Cooperation to Equality, St. Marten’s Press, New York, 1997.
Mubyarto, Amandemen Konstitusi dan Pergulatan Pakar Ekonomi, Aditya Media, 2001
---------, Ekonomi Pancasila: Landasan Pemikiran Mubyarto, Aditya Media, 1997
---------, Sistem dan Moral ekonomi Indonesia, LP3ES, 1998
Nagvi, Syed Nawab Haider, Ethics and Economics, An Islamic Synthesis, The Islamic Foundation, London, 1981.
Nelson H. Robert, Economics as Religion, Pensylvania, UP. 2001
Swedberg, Richard, Max Weber and the Idea of Economic Sociology, Princeton UP, Princeton, 1998
Weber, Max, The Protestant Ethics and the Spirit of Capitalism, Charles Scribner’s Sons, New York, 1958
---------, Economy and Society, University of California, 1978
---------, General Economic History, Collier Books, 1961